Koper

Published by

on


poster-koper

Ringkasan* sinopsis dari official website film “Koper”

Pada satu siang, segerombolan perampok melarikan sebuah koper penuh uang dari sebuah bank. Di malam hari, seorang pegawai rendahan menemukan koper di pinggir jalan. Istri dan tetangganya yakin, itu koper yang dibawa para perampok. Si pegawai rendahan yakin, koper itu jatuh dari sebuah mobil dan harus dikembalikan.

Koper itu di sisi lain membuat cara pandang sekitarnya kepada Yahya berubah. Mereka juga berpikir, tentu ada sesuatu mengapa Yahya membawa-bawa koper itu. Teman-teman kerjanya berbalik menjadi begitu ramah, bahkan begitu pula atasannya. Demikian pula para tetangganya.

Hingga suatu hari, penyakit yang lama merongrong Yasmin datang menyerang. Yasmin ambruk. Dan satu-satunya cara menolongnya, barangkali, adalah dengan membuka koper tersebut. Akankah Yahya berhasil mempertahankan integritasnya untuk tidak membuka koper yang bukan miliknya? Dan apakah sesungguhnya isi koper tersebut?

Berbekal sinopsis ini, gue pergi nonton film “Koper”. Dalam bayangan gue; “wah, ni film kayaknya satir, kritik sosial, cerdas, bernas, unik, lucu, keren deh pasti!”

Film mulai dengan pemandangan Jakarta yang macet. “Wah gambarnya keren!” pikir gue. Sudut-sudut pengambilan gambarnya oke! Sip! Lanjut… Pemandangan berganti, gang sempit, rumah dempet-dempet, tulisan “laundry” dipajang di depan rumah, suara samar2 orang ngobrol, sepasang tangan lentik Maya Hasan membuka bungkus indomie. “Wah main simbol nih… cool! Film Indonesia kan biasanya pada bawel, apa2 diomongin – akhirnya ada juga film yang berani pake bahasa simbol – keren!”

Habis itu digambarkan Anjas pergi kerja naik bis. Di halte bis ada orang tua gondrong main harmonika, tapi nggak kedengeran suaranya. Waktu Anjas naik bis, orang tua itu hilang. Di bis ada copet. Anjas sampe di kantor, kerja di bagian arsip. Kerjanya naro2 buku ke atas rak. anjas kerja sampe malem. Begitu mau pulang, taunya pintu pager kantor udah digembok. Anjas molos dari celah pager.

Besokannya kejadian yang sama berulang. Naik bis, ketemu orang tua gondrong gaib, di kantor nyusun arsip, waktu mau pulang kekunci di kantor. Sampe di titik ini gue mulai mikir: “Ooowkey… mau bilang bahwa hidup si tokoh monoton kan? Ngerti, ngerti… tolong terusin dong ceritanya…”

Abis itu Anjas tiba-tiba duduk di sebelah gue, nyenggol2 sambil bilang, “Heh! kok tidur sih! katanya mau bikin review!” Loh… kok..? Eala.. ternyata gue ketiduraaan… Entah berapa menit yang hilang dari film itu, pokoknya pas gue bangun si Anjas udah nenteng-nenteng koper ke kantor. Dan tiba-tiba aja film ini jadi baweeeeel sekali.

Layar penuh dengan orang ngobrol, ngobrol dan ngobrol lagi ngalor-ngidul. Udah gitu, yang bikin kuping gue gatel adalah dialog2 dalam film ini seperti kalimat2 berbahasa inggris yang diterjemahin sama orang yang baru dua minggu ikutan kursus conversation di LIA – itupun kursusnya cuma seminggu sekali dan hari pertamanya diisi dengan acara perkenalan sambil makan kue. Contohnya waktu Anjas ngobrol sama Djenar. Anjas yang tadinya positive thinking nampak berubah jadi sinis akibat tekanan hidup dan Djenar nyeletuk “Hey, coba lihat siapa yang jadi sinis sekarang…” Aneh ga sih? Atau waktu Anjas nengok istrinya di RS dengan tampang kuyu, istrinya bilang “Coba lihat kamu sekarang” -seperti terjemahan “Look at yourself!” Richard Oh sang penulis naskah sekaligus sutradara itu sehari-harinya ngomong pake bahasa apa sih?

Selain itu isi obrolan tokoh2nya juga sama sekali nggak menarik rasa ingin nyimak. Seandainya gue lagi nongkrong di ruang tunggu dokter dan denger dua orang di sebelah gue ngobrol seperti itu, gue mendingan minta reschedule ke lain hari deh. Ambil contoh dialog antara Anjas dengan Djenar waktu Anjas lagi pusing mikirin istrinya harus masuk RS.

“Saya lagi ingin mendengar tentang kesedihan,” kata Anjas, “Ayo tumpahkan semuanya.”

Djenar tadinya ragu untuk menumpahkan apapun, tapi berkat bujukan Anjas akhirnya mau juga dia tumpah. Tumpahannya panjaaaang dan boring, sama sekali nggak berkontribusi terhadap eksistensi si koper. “Ya ya ya, bisa dipersingkat ga ya tumpahannya?” bathin gue. Setelah puas menumpah, Djenar berkata, “ayo sekarang kamu gantian..!” Arghhh… tidak, tidak, jangan turuti dia Anjas, jangaaan…! Tapi ah sial, Anjas terbujuk untuk ikut2an menumpah. Dan nggak kalah panjangnya. Ufff… cape bener…

Gue memang nggak berharap dialog film ini se-real dan sesantai Realita Cinta… misalnya, gue juga nggak berharap film ini menampilkan setting yang realistis – kan nggak semua film harus realistis juga – tapi minimal bikin lah tokoh2nya punya identitas yang jelas situasi kondisi dan asal-usulnya, gitu loh. Tokohnya Anjas itu misalnya, digambarkan sebagai pegawai rendahan, tapi kalo pulang kantor suka nangkring di bar minum2 bir sambil ngobrol santai sama waitressnya – nampak seperti setting Amerika banget – sementara yang lebih sering ditemui di sini adalah orang nongkrong di bar sambil jogetan dangdut diiringi lagu “bang sms siapa ini baaaanggg…” Itu juga nggak bisa sering2, karena harus nunggu duit tunjangan cair. Di kantor gue yang lama, tempat nongkrong favorit para pegawai rendahan sepulang kantor adalah di tukang ketoprak yang mangkal deket warung rokok, sambil minum teh botol.

Film berjalan lewat dari satu jam pertama, korban di pihak penonton mulai berguguran: ada yang walk-out pulang. Gue udah nyaris, kalo nggak inget niat untuk nulis review bersejarah di Mbot’s HQ: ditulis sebelum filmnya beredar. Lagian nothing to lose lah, nontonnya kan gratis – mana dapet goodie bag lagi.

Cerita berlanjut, setelah berhari-hari si Anjas menenteng koper temuan itu ke sana-sini dengan alasan “sedang berusaha mengembalikan kepada pemiliknya” baru dia kepikir untuk melacak nomor mobil yang telah menjatuhkan si koper. Caranya? Dengan menelepon “layanan registrasi nomer kendaraan” – sehingga cukup dengan menyebutkan nomor mobil kita bisa tau nomor telepon dan alamat pemilik mobil tersebut. (bagi para jomblo, berdoalah agar layanan semacam itu segera menjelma menjadi kenyataan karena akan sangat memudahkan proses seleksi calon target di jalan raya).

Singkat cerita, Anjas berhasil kopdaran dengan pemilik mobil yang menjatuhkan koper tersebut. Pemiliknya seorang bapak tua yang saat ditemui lagi mengurus tanaman anggrek. Nggak ada ujan nggak ada gledek, begitu liat ada tamu dateng sambil nenteng koper, ujug2 si bapak tua ngoceh: “Anggrek anu (menyebutkan sebuah jenis anggrek) – sebuah anggrek langka – berbunga sekali dalam 4 bulan, habis itu hilang. Sama seperti cinta…blablablabla….” Duh Gustiii…. ckckck… dialognya ampun deh. Sampe di titik ini, gue berhenti berharap di akhir film akan ada kejelasan tentang nasib si koper. Bahkan, gue juga berhenti berharap film ini akan berakhir.

Tiap kali nemu film model gini, gue selalu bertanya-tanya, “Ini emang filmnya yang ajaib, atau IQ gue yang nggak nyampe untuk mencerna ya?” Tapi kalo gue disuruh bikin film surealis model2an begini nih, gue akan bikin sekalian ajaib total biar penontonnya pada rontok rambutnya mikirin simbolisasi apa yang hendak gue sajikan. Daripada bikin tokoh yang sekedar pegawai arsip, misalnya, sekalian aja gue bikin tokoh yang kerjaannya beternak selusin mesin jahit yang harus dikasih makan bubur beling setiap setengah jam sekali supaya rajin bertelor. Nanti telornya menetas jadi kompor gas. Pasti nanti para kritikus sok tau akan menganalisa “oh, mesin jahit menggambarkan mesin-mesin produksi kapitalisme yang menguasai rakyat kecil… bla.. bla..bla” Daripada nanggung bikin tokoh yang cuma nemu koper di jalan, mending sekalian bikin cerita tokohnya nemu bajaj di kamar mandi. Trus karena stress dia pergi minum beras kencur campur bumbu sate sambil nongkrong di puncak monas. Biar disangka simbolisasi “problem transportasi jakarta yang kian pelik bikin penduduknya kepikiran hingga sembelit”

Kalo mau aneh jangan nanggung. Dan oh ya, tadinya gue cuma mau kasih bintang satu buat film ini, tapi berhubung gambarnya keren-keren… ya sud, kasih bintang dua deh…

*sinopsis lengkapnya baca aja di websitenya ya, soalnya kepanjangan kalo dikopi semua ke sini

44 tanggapan untuk “Koper”

  1. mbot Avatar

    myshant said: gue siy lebih nungguin review versi agungnya kok 🙂

    huhuhu… terima kasih… 🙂

    Suka

  2. mbot Avatar

    ernichka77 said: BTW, kenapa elo gak ngelamar jadi penulis skenario aja Gung? Dijamin banyak cerita seru yg bisa elo bikin.

    takut ah, takut direview orang iseng di MP 🙂

    Suka

  3. mbot Avatar

    cindil said: wakakakkakk….. bikin film semacam “charlie Sheen” aja.. yg adegannya banyak yg aneh bin ajaib tapi kan bikin seger… misalnya film “Hot Shoot” yg jelas adegannya emang gak masuk akal tapi seruuuuuu……

    laaah beda jenis kalii. Kalo hotshotsnya charlie sheen itu kan slapstick.

    Suka

  4. mbot Avatar

    jrdd said: Yah.. dr dulu sampe skarang masih begini mutu film kita? tp gw kagum sama dikau, Gung.. knapa ga jadi reporter aja sih??

    kalo dibilang “dari dulu sampe sekarang masih gini” sih enggak juga… perfilman indonesia makin maju kok. ambil contoh film “koper” ini. terlepas dari ceritanya yang aneh bin ajaib, keberanian pembuatnya untuk bikin film yang jelas2 nggak komersil kaya gini patut dipuji. bayangin tahun 80an, masa jaya2nya film indonesia, mana ada orang yang berani melawan ‘mainstream’ selera pasar…

    Suka

  5. mbot Avatar

    udintpi said: Gung, gw malah penasaran ama ni film setelah lu review…

    ya udah, tonton dong… biar perfilman indonesia tambah maju 🙂

    Suka

  6. nadnuts Avatar

    Hmmm…pas liat yang maen anjas emang dah ragu sih…maap ya, njas…Kesian juga Richard Oh pelem pertamanya kok bgini? Eh, ini pertama kan?

    Suka

  7. gomak Avatar

    halah,,,gw jd bingung

    Suka

  8. harigini Avatar

    Gung, lo sempet ketiduran ajah reviewnya bisa komplet apa lagi kalo nggak yah :DBaca review elo bikin gw jadi parno buat liat filmnya apalagi setelah gw liat film Betinanya Lola Amraia, sampe sekarang masi kebayang2 bt-nya.

    Suka

  9. sutonokairos Avatar

    Gimana kalo misalnya, cerita mas Agung dapet tiket gratisan trus nonton film ini dan sampai menulis review ini dijadikan film ajah…. dan jangan lupa, pas pulang dari bioskop, mas Agung diceritakan menemukan koper yg mirip dengan difilm… *halah*

    Suka

  10. pipitta Avatar

    coba lihat siapa yang bikin review! *halah* review loe keren seperti biasanya ;p dan gw jadi berniat kuat untuk ga nongton pelem nyang ini.. tengkyuh

    Suka

  11. marzland Avatar

    Daripada bikin tokoh yang sekedar pegawai arsip, misalnya, sekalian aja gue bikin tokoh yang kerjaannya beternak selusin mesin jahit yang harus dikasih makan bubur beling setiap setengah jam sekali supaya rajin bertelor. Nanti telornya menetas jadi kompor gas. Pasti nanti para kritikus sok tau akan menganalisa “oh, mesin jahit menggambarkan mesin-mesin produksi kapitalisme yang menguasai rakyat kecil… bla.. bla..bla” >> HAHAHAHAHAHAHAHAHA 😀

    Suka

  12. sossisag Avatar

    1. selamat. bukan hanya sampeyan yang tidur ketika film diputar. untung di sebelah saya berbaik hati mau menceritakan bagian-bagian yang terlewat ketika mata ini terpejam.2. richard oh berlatar orang iklan. sayangnya dia bukan pada posisi penulis kopi. jadi kalau cara berpikirnya dengan struktur kalimat bahasa inggris yah ampuni saja.3. ah lupa lagi… mau komentar aja udah ikut ketiduran…

    Suka

  13. roycelover Avatar

    jadi sebenarnya koper itu isinya apaan sih gung? :-))

    Suka

  14. myshant Avatar

    sinopsisnya siy oke ya …kenapa ketika jadi pelem kok mengenaskan ?gung review-nya keren, as alwaysselalu menghibur, gue siy lebih nungguin review versi agungnya kok 🙂

    Suka

  15. ernichka77 Avatar

    hehehe kayaknya yg pantas dibikin skenario itu bukan filmnya, tapi perjuangan si Agung mencerna film yang gak jelas ini. Atau mungkin seperti yang kamu bilang Gung, mungkin idenya masih terkunci di koper. Lucu juga kali ye, kalo di akhir cerita pas dibuka kopernya isinya itu ya skenario film koper, trus si Anjas bilang ke penonton “maaf saudara2, skenario aslinya ketelingsut masuk koper, jadi kalo dari tadi anda gak ngerti jalan ceritanya maklum aja, karena kita lupa ama skenario aslinya”…halah….halah kok gw jadi ikutan gak jelas gini sih. garing.BTW, kenapa elo gak ngelamar jadi penulis skenario aja Gung? Dijamin banyak cerita seru yg bisa elo bikin.

    Suka

  16. cindil Avatar

    wakakakkakk….. bikin film semacam “charlie Sheen” aja.. yg adegannya banyak yg aneh bin ajaib tapi kan bikin seger… misalnya film “Hot Shoot” yg jelas adegannya emang gak masuk akal tapi seruuuuuu……

    Suka

  17. jrdd Avatar

    Yah.. dr dulu sampe skarang masih begini mutu film kita? tp gw kagum sama dikau, Gung.. knapa ga jadi reporter aja sih??

    Suka

  18. udintpi Avatar

    Gung, gw malah penasaran ama ni film setelah lu review…

    Suka

  19. mbot Avatar

    imazahra said: Wahahahaha…. kenapa jadi menyedihkan begini ya filmnya… mungkin mo absurd, tapi gak sampe idenya 🙂

    idenya masih terkunci di koper kali :-p

    Suka

  20. imazahra Avatar

    Wahahahaha…. kenapa jadi menyedihkan begini ya filmnya… mungkin mo absurd, tapi gak sampe idenya 🙂

    Suka

Tinggalkan Balasan ke pipitta Batalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari (new) Mbot's HQ

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca