Bagian sebelumnya bisa dibaca di sini
Sabtu 13 Mei 2006
Seperti udah gue ceritain di bagian pertama, Ibu punya dokter langganan yang rutin ngobatin ibu dengan sebuah suntikan ‘mujarab’. Efek suntikan ini rata-rata cuma bertahan sebulan, makanya Ibu harus ke dokter itu sebulan sekali.
Denger deskripsi tentang dokter langganan ibu ini, dokter-dokter di Makassar menduga bahwa suntikan “mujarab” itu sebenarnya adalah steroid! Ciri-cirinya ya begitu itu, badan yang sakit-sakit bisa langsung segar bugar kaya disulap. Konon di kalangan kedokteran, steroid disebut sebagai ‘obat dewa’ karena keampuhannya ‘mengobati’ berbagai penyakit. ‘Mengobati’ dalam tanda kutip karena efek steroid ini ‘semu’, sekedar memberi rasa nyaman tanpa menyembuhkan sumber penyakitnya. Akibatnya, penyakit di persendian Ibu semakin lama jadi semakin parah.
Dokter-dokter di Makassar juga bilang, steroid punya efek samping mengurangi kemampuan tubuh mengendalikan kadar gula darah. Orang sehat aja bisa naik kadar gula darahnya kalo terus-terusan disuntikin steroid; apalagi pengidap diabetes seperti Ibu. Suntikan steroid biasanya hanya diberikan sebagai alternatif terakhir, kalau udah terpaksa sekali, itupun dengan frekuensi yang sangat jarang – bukannya rutin sebulan sekali seperti yang diberikan dokter di Jakarta. Seandainya dokter itu waras dan menjalankan kode etik kedokteran secara baik dan benar, seharusnya sebagai dokter umum dia merujuk Ibu pada dokter ahli urusan syaraf dan tulang – bukannya main suntik steroid padahal dia tahu betul Ibu mengidap diabetes.
Dugaan bahwa suntikan dari dokter langganan Ibu adalah steroid makin menguat saat dokter di Makassar juga menjelaskan bahwa terapi steroid sangat populer di kalangan penderita alergi dan asma – matched dengan fakta bahwa 80% pasiennya adalah penderita asma. Memang kalo diinget-inget, tu dokter emang rada meragukan sih kompetensinya. Sekali waktu gue pernah demam tinggi, berobat ke dokter kesayangan Ibu itu dan divonis “masuk angin” lantas dikasih resep antibiotik aneh-aneh seharga ratusan ribu rupiah. Seminggu gue makan tu obat-obatan tanpa ada perbaikan, akhirnya gue pindah dokter dan ketahuan bahwa sebenernya gue sakit thypus! Padahal selama seminggu itu gue udah makan segala macem, termasuk yang asem-asem dan pedes-pedes. Untung nggak ‘lewat’. Trus pernah juga di kesempatan lain, dengan positive thinking bahwa doctors are human and it’s human to make mistake, gue panas tinggi lagi dan kembali berobat pada dokter bego itu. Lagi-lagi diagnosanya “masuk angin”, dikasih obat mahal-mahal, seminggu nggak beres, pindah dokter dan ketahuan bahwa gue sebenernya kena demam berdarah!
Sekarang gue lagi pikir-pikir gimana caranya memperkarakan dokter langganan Ibu itu. Mungkin di negara kacau ini ujungnya nggak akan sampe pada pencabutan ijin praktek si dokter (mengingat di daerah-daerah terpencil seorang lulusan SMP bisa sukses praktek jadi dokter bertahun-tahun sebelum akhirnya ketahuan). Tapi kalo gue berhasil mengumpulkan bukti kuat bahwa dia memang melakukan malpraktek, sebuah publikasi virtual mungkin cukup ampuh untuk menurunkan jumlah pasiennya secara signifikan – dan buat si dokter itu sama parahnya dengan kehilangan ijin praktek.
We’ll see.
![]()
Karena yang jagain Ibu udah makin banyak, malemnya gue dan Ida jalan-jalan sekalian belanja keperluan Ibu. Lagi-lagi kami diantar Pak Aswadi. tujuan: mall.
Kami menuju ke mal yang konon terbesar di Makassar. Kalo orang Jawa tergila-gila pada huruf O sehingga kalo punya anak dikasih nama agung nugrOhO, punya kota dikasih nama sOlO, punya jalanan dikasih nama MaliObOrO, dan kalo bingung nanya ‘OnO OpO thO‘, maka orang Makassar tergila-gila pada NG. Orang-orang dipanggil daeNG, jalanan dan daerahnya dikasih judul LatimojoNG, MamajaNG, dan BawakaraeNG, kalo lapar minta makaNG, makanannya disebut Nyuk-NyaNG (bakso), dan kalo punya Mal tentu aja dikasih nama PanakkukaNG.
Mal Panakkukang ini secara menakjubkan mirip sekali dengan Mal Kelapa Gading. Mulai dari suasana jalanan yang menuju ke sana – lengkap dengan Karaoke NAV, sampe supermarket di dalamnya yang bermerk Diamond dan posisinya berdekatan dengan foodcourt. Persis banget deh!
Karena males makan berjejal-jejal sambil dikerumuni asep rokok, kami makan di sebuah resto bernama Indigo. Penampilannya mirip-mirip resto Platinum, yang waktu itu dipilih jadi tempat kopdar MPers waktu bagi-bagi kalender. Ida pesen rawon, yang waktu nongol ternyata baunya mirip coto sehingga Ida memutuskan pesen kangkung cah sapi.
Selesai makan, seperti biasa gue motret-motret keadaan sekitar termasuk motretin toko J.CO donuts yang baru buka di sana. Eh, tau2 gue didatengin sama dua orang berseragam J.CO.
“Maaf Pak, bapak dari mana ya?”
“…? Dari Jakarta. Kenapa emangnya?”
“Begini Pak, peraturan di toko ini dilarang memotret Pak.”
Whaaaat…? Gue bahkan nggak masuk ke area tokonya. Orang gue lagi berdiri di tengah-tengah mal, kan terserah gue mau motret ke mana? Sejak kapan ada larangan motret di mal? Tapi… baiklah. Kedua petugas J.CO telah meminta gue untuk tidak memotret tokonya. Fine. Mari kita hormati permintaan mereka.

Ooops… lho kok malah nongol di sini sih fotonya? Aduh, maaf lho mas-mas J.CO, ini pasti kesalahan teknis deh. Orang dilarang motret kok malah diposting di internet sih… maaf, maaf lho…. sengaja!

Ealaaaa… ini kok malah mucul satu lagi, gimana sih… aduh, ck. Emang repot deh kalo hari gini mau ngelarang2 orang motret, sekalinya dilarang malah nongol di internet. Kacau, kacau! Gini aja deh mas, kalo keberatan silakan tuntut aja lah. Kali aja mas bisa nemu pasal larangan memotret di dalam mal. Monggo lho!
Mengingat malam itu tempat gue di kamar RS telah tergusur oleh kedatangan kakak gue yang tertua, gue nginep di rumah kakak gue yang nomer 3. Tepatnya sih ‘numpang begadang’, karena malam itu gue manfaatk
an dengan ngetik sampe Subuh.
Minggu 14 Mei 2006
Untungnya resto ini punya ayam goreng mentega yang cukup oke, jadi gue rada terhibur dikit lah. Ipar gue akhirnya pesen Kudu-kudu goreng, dan percayalah, tampangnya setelah digoreng jauh lebih ajaib ketimbang waktu masih mentah. Apalagi setelah dicuwil sana sini, bentuknya jadi makin nggak keruan – seperti seonggok onderdil motor yang kusut. Selain Kudu-kudu juga ada hidangan telur Ikan Tuing-tuing. Bentuknya mirip biji delima tapi warnanya coklat dan konon rasanya lembek-lembek amis. Gue, tentu aja males mencicip walaupun hanya sesendok.
Dari resto “Nelayan” rombongan berpisah jalan. Sebagian menuju RS, sementara gue dan Ida mampir beli oleh-oleh wajib dari Makassar: Minyak Tawon.
Toko yang jual Minyak Tawon ini namanya “Sulawesi Art Shop”, dan sesuai dengan namanya, dia jual berbagai cindera mata khas Sulawesi – bukan cuma dari Makassar doang. Ada miniatur rumah Toraja, gantungan kunci berbentuk badik, mutiara, sirup Markisa, kacang disko, serta aneka rupa madu dan minyak gosok dari seluruh penjuru Sulawesi – termasuk minyak lawang, minyak kayu putih, dan minyak telon. Minyak Tawon sendiri punya 2 varian tambahan selain Minyak Tawon versi ‘original’ yang bertutup botol merah, yaitu:
- Minyak Tawon tutup putih; harganya 3 kali lipet yang tutup merah karena konon bahan-bahannya lebih murni sehingga lebih ‘mujarab’ dan tentunya lebih panas.
- Minyak 608 (udah kaya model Levi’s), yang lebih panas lagi dari Minyak Tawon tutup putih. Baunya sih seperti Minyak Tawon, tapi panasnya seperti minyak lawang.
Selain kedua varian tersebut, juga ada Minyak Tawon versi balsem.
Setelah ngumpul sebentar plus numpang mandi (khusus gue) di RS, kami berangkat ke airport jam 2 waktu setempat. Kali ini pulangnya naik AdamAir, ngaret setengah jam dari jadwal sehingga baru sampe Jakarta sekitar jam 7 malem.
Begitu sampe rumah, langsuuuung buka MP!
=TAMAT=

Tinggalkan Balasan ke Makassar trip hari 2: demo-demo, kudu-kudu, bebek-bebek | (new) Mbot's HQ Batalkan balasan