Jadi gini deh ya, ceritanya kami kan mau ke Bali nih. Berangkat hari Minggu pagi, dan berencana pulang hari Kamis malam. Kali ini beneran honeymoon, setelah piknik pertama diisi dengan jalan-jalan ke museum geologi Bandung liat kerangka dinosaurus dan disusul dengan perjalanan ke Solo bersama mertua dan nenek – dua-duanya sulit dikategorikan sebagai honeymoon.
Everybody’s basically happy.
Tapi problem rumah tangga muncul bahkan sebelum berangkat.
Tepatnya: urusan packing.
Gue, selama tujuan kepergiannya ke tempat yang masih berperadaban (ada toko-toko) dan nginepnya di hotel – bukan di tenda, berusaha menekan perbekalan pakaian. Pergi 5 hari, cukup bawa 4 buah kaos, 2 celana pendek, dan 1 celana panjang. Lagian perginya toh ke Bali, di mana orang bisa sarapan di coffee shop hotel dengan bercelana pendek tanpa melanggar sopan santun. Kalo sampe sana bajunya kurang, tinggal laundry atau cuci sendiri. Atau mungkin beli, di sana kan banyak jual kaos bagus-bagus. Bangsanya sabun, shampoo, tinggal beli ukuran yang paling kecil pas nyampe di sana. Kalo pas mau pulang tas udah penuh dengan oleh-oleh, tinggalin aja sabun2an itu di hotel. Beres.
Sebaliknya dengan Ida, istriku sayangku cinta permata hatiku yang satu ini.
Pertama-tama dia mau bawa 3 jenis alas kaki: sendal jepit, sendal kulit santai, dan sepatu kets. Bajunya mau bawa 7 biji, 2 di antaranya kaos berkerah. Satu celana panjang, satu celana tanggung, dan satu celana pendek. Sabun-sabunan mau bawa komplit. Sabun muka, sabun badan, shampoo, conditioner, mungkin peralatan creambath juga kali – only God knows. Dan handuk. Oh iya, handuk kecil juga, beberapa. Plus kaos kaki.
Soal perbekalan, track record Ida memang agak mengerikan. Pada suatu kali, kami pernah pulang ke Bandung untuk stay selama 3 hari dan istriku tercinta ini bawa baju 7 (TUJUH) biji untuk kami MASING-MASING (jadi total 14 – EMPAT BELAS) dan 4 (EMPAT) pasang sepatu untuk dia sendiri doang. Memang sih waktu itu kami mau menghadiri resepsi pernikahan, yang berarti harus ada ekstra sepatu pesta… tapi alokasi pemanfaatan sepatu yang 3 pasang lagi masih menjadi misteri hingga kini.
Gue bilang, “Kita bawa 2 ransel aja, plus 1 travel bag beroda yang kosong. Perbekalannya taro di ransel masing-masing, sementara travel bag-nya untuk nanti bawa oleh-oleh.”
“Aku nggak mau bawa oleh2 yang aneh2 kok… cuma mau beli satu aja…”
“Apaan?”
“Bed-cover Bali…”
“…? Bed…cover?”
“Iya… kenapa emangnya?”
“Bed cover kan… GEDE yang?”
“Iya… tapi kan cuma beli itu aja satu biji… lagian itu kan pesenan Mama… masa Mama mau nitip akunya nggak mau beliin…”
“Ya udah… kalo gitu aku bekalnya nambah juga deh… “
“Mau bawa apa?”
“Bantal 2 biji.”
“….”
“…sama mbak Heni mungkin senang kalo kita bawakan oleh-oleh patung garuda?”
“Ya udah deh… nanti malem aku telepon Mama ya…”
“Mau bilang apa?”
“Mau bilang menantunya nggak mau beliin bed cover…”
“Huuu… pengaduan. Ya udah deh iya iya… beli sana bed covernya beliiii….”
“Aku nanti nggak ngerepotin deh, aku akan bawa sendiri barang-barang itu semuanya… ” Yang mana berdasarkan pengalaman terakhir, pernyataan seperti ini akan direalisasikan dengan Ida menyeret-nyeret koper overweight dengan tampang sengsara, terseok-seok, sesekali menyeka peluh dengan punggung tangan persis adegan film Ratapan Anak Tiri Disiksa Tetangga. Suami mana yang tega kalo udah begitu, coba.
Setelah melalui proses negosiasi yang alot, akhirnya Ida mau juga meninggalkan 2 kaos berkerah dan handuk. Tapi soal alas kaki, udah harga mati.
So, gue dan Ida pamitan dulu ya dari ajang per-MP-an, nggak tau apakah di sana akan nemu warnet yang oke apa enggak. Yang jelas, udah ada MP-ers cabang Bali yang kontak-kontakan sama Ida, janjian mau ketemuan di sana. Plus mau ketemuan juga sama temen kerjanya Ida, Atika. Hmm.. ada yang berminat nyusul ke Bali…? 🙂

Tinggalkan Balasan ke evimeinar Batalkan balasan