Cerita oleh2 waktu ke Bandung 2 minggu yang lalu.
Gue dan Ida jalan-jalan di Ci-Walk sampe haus, dan akhirnya mampir di foodcourtnya. Baik gue maupun Ida waktu itu sama2 baru ngeh bahwa ada di Ci-Walk ada foodcourt. Abis, tempatnya nggak strategis banget: di lantai paling atas, satu lantai dengan bioskopnya, dan dari depan bioskop pun masih harus belok ke kanan terus kiri sedikit baru deh sampe ke sana. Sementara di bawah udah segitu banyaknya tempat makan yang asik-asik. Nggak heran tu foodcourt sepi banget.
Berhubung niatnya cuma mau beli minum, maka gue langsung menuju booth minuman yang kebetulan letaknya paling deket sama kasir dan pintu masuk. Gue beli cappuccino es seharga 7000 perak, sedangkan Ida mau beli air mineral (baca: air minum kemasan, yang sebenernya belum memenuhi syarat kecukupan kandungan mineral untuk disebut ‘air mineral’).
“Wah di sini nggak jual air mineral mbak”, kata mbak-mbak penjaganya. “Yang jual air mineral di sana”, katanya sambil menunjuk booth lain, “tapi mbak harus beli kupon dulu di kasir.”
Beli kupon dulu? Heran juga dengernya, hari gini kok masih ada sih foodcourt yang pake sistem kupon2an? Maka Ida beranjak ke kasir yang posisinya bersebelahan dengan booth minuman tsb, dan mendapat keterangan mengenai prosedur yang berlaku sebagai berikut:
Sebelum mulai berbelanja, pengunjung harus menyetorkan sejumlah uang ke kasir. Sebagai gantinya, pengunjung akan dapet sebuah kartu yang nilainya udah diprogram sesuai jumlah uang yang disetorkan (mirip kartu di Timezone). Setelah punya kartu, pengunjung membayar pesanannya dengan cara menggesekkan kartu. Nanti nominal kartu akan berkurang sesuai dengan nilai transaksi. Kalau total transaksi lebih sedikit dari nominal awal, maka pengunjung harus dateng lagi ke kasir untuk me-refund uangnya.
“Tapi mbak, saya cuma mau beli air mineral segelas”, kata Ida. “Nggak bisa bayar langsung di tempatnya ya?”
“Nggak bisa mbak, harus taro uang dulu di sini”, kata mbak Kasir, “Sepuluh ribu juga cukup.”
“Harga air mineral segelas kan nggak sampe 10 ribu mbak”, kata Ida
“Iya, nggak papa, nanti habis beli kartunya mbak bawa lagi ke sini untuk dikembalikan uangnya”.
“Kalo saya taro uangnya seharga airnya, misalnya 2000 perak, boleh?”
“Nggak bisa mbak, minimal 10 ribu.”
“Ah ya udah deh mbak, nggak jadi. Ribet bener sih mau beli air segelas aja.” kata Ida bersungut-sungut.
Abis itu gue dan Ida milih duduk nggak jauh dari situ, untuk meminum si cappuccino es yang kalo gue pikir2 sekarang, kok bisa ya dibeli tanpa harus pake acara tuker2 uang di kasir? Ida masih aja ngomel2 soal betapa ribetnya prosedur yang harus dilalui untuk mendapatkan segelas air di foodcourt ini, dan menganalisa mungkin itu sebabnya di sini nampak kurang pengunjung.
Nggak lama kemudian, tiba2 mbak2 dari booth minuman manggil2,
“Mbak… mbak… psst… ”
“Ya, kenapa?” kata Ida
“Mbak mau air ya? Air biasa aja mau ya mbak?”
“Mau sih…”
“Ya udah, sebentar ya, kita punya kalo cuma air biasa aja sih…” habis itu mereka ngambilin air dari kulkas, dan menghidangkannya dalam gelas plastik.
“Berapa mbak?”
“Udah, nggak usah…! ” dan mereka bener2 nggak mau dibayar. Sampe mau pulang, Ida mencoba lagi ngasih uang, tapi mereka tetep aja nggak mau. “Cuma air aja kok”, katanya.
Memang ‘cuma’ segelas air yang mungkin nggak nilainya, tapi kepedulian di baliknya adalah barang mahal – yang nggak semua orang mampu memilikinya.
Ini foto kedua mbak2 baik hati itu:


Tinggalkan Balasan ke mbot Batalkan balasan