Sebenernya posting ini nggak terlalu pas juga sih dibilang “Penemuan Hari Ini…”, karena kejadiannya kan kemarin. Tapi kemarin gue nggak sempet nulis, pulangnya malem. Telat sehari, nggak papa ya?
Seminarnya ngebahas tentang penulisan buku secara umum. Mulai dari penetapan tema, perancangan kerangka, jenis-jenis buku yang lagi ngetrend, sampe penerbitannya. Tapi satu topik yang paling menarik buat gue adalah: self-publishing.
Selama ini gue kira kalo kita mau nerbitin buku, kita harus serahin naskah ke penerbit, karena untuk bisa nerbitin buku harus punya surat ijin khusus. Seperti koran gitu loh, kan ada SIUPnya. Ternyata enggak gitu. Siapapun, asal punya modal, bisa nyetak bukunya sendiri, bawa tuh buku2 ke toko buku, dan kalo tokonya setuju dengan skema pembayarannya, dipajang deh buku lo di rak. That simple.
Bambang Trim, pembicaranya, ngasih ilustrasi kasar komponen biaya penerbitan buku: Sekitar 20% untuk biaya percetakan, 40% untuk keuntungan toko buku, 10% untuk royalti pengarang, dan sisanya laba. Sekarang dengan rata2 biaya cetak cuma 20% dari harga jual, kita ambil contoh novel standar yang harganya sekitar 30 ribuan. Misalnya novel tersebut laku 3000 copy (=jumlah yang standar dipake para penerbit untuk satu kali cetak. Jadi kalo lo liat di suatu buku ada tulisan cetakan ke 6 misalnya, maka jumlah buku tersebut yang beredar adalah sebanyak 6 x 3 ribu copy=18.000 copy. Tapi kadang ada juga sih penerbit yang nyetak cuma 2.000 copy sekali cetak), elo sebagai penulis cuma akan dapet royalti 10% dari 3000 copy x 30 ribu perak = 9 juta. Tapi kalo lo tulis sendiri, lo cetak sendiri, jual sendiri, dan laku, maka yang lo dapet dengan modal 18 juta (ingat biaya cetak = 20% dari 90 juta) adalah keuntungan maksimal sebesar 72 juta!!!
Tapi itu ngomong manis2nya ya. Karena self-publishing juga punya banyak problem, terutama di bidang distribusi. Misalnya lo punya 3000 buku fresh baru dateng dari percetakan numpuk di rumah lo. Trus gimana caranya naro buku2 itu di toko buku? Kalo toko Gunung Agung mungkin gampang ya, karena dia centralized. Lo tinggal nego sama pusatnya di Kwitang, habis itu dia yang atur distribusinya ke seluruh cabang. Kalo Gramedia, manajemennya otonom. Lo nego sama Gramedia Matraman, misalnya, abis itu lo musti nego lagi sama Gramedia Pondok Indah, Melawai, dst dst.
Alternatif solusinya, lo bisa juga kerja sama dengan perusahaan distribusi. Nanti mereka yang urus penyalurannya ke toko2 buku. Tapi konsekuensinya, laba lo akan terpotong sama fee mereka, dan ada kemungkinan perusahaan distribusinya main curang: lo udah bayar fee mereka, tapi bukunya nggak sampe ke toko.
Anyway, seminar kemarin cukup inspiring, informatif, dan bikin gue jadi ber-“hmmm…” sambil ngelus2 jenggot dan ngebayangin duit berterbangan… nerbitin buku sendiri, lucu kali ya?
Fun facts:
- Sumpah mati gue nggak ngeh bahwa seminar ini diadakan oleh MQ, perusahaannya Aa Gym, yang berakibat gue dan nanin tampil dengan salah kostum banget. Kami pake kaos warna-warni, jeans dan sepatu olah raga, sementara hadirin lainnya rata2 berjilbab, berkemeja, atau berjenggot (tidak dalam kombinasi ketiganya). Ida masih mending, walaupun nggak berjilbab tapi bajunya cukup feminin lah.
- Seminarnya di hotel Sofyan Betawi, deket mesjid Cut Mutiah situ, dan gue baru tau bahwa itu hotel bernuansa Islami. Ada pengumuman di reception “Maaf, kami tidak menerima pasangan tamu yang bukan muhrim”. Sekedar info aja nih buat para pembaca yang mungkin siang2 kepingin ‘istirahat sebentar’, jangan sampe salah hotel ya.
- Tau kode ISBN, yang ada di hampir semua buku? Itu kode internasional yang memberikan nomor unik untuk setiap buku di katalognya. Nomor itu terbagi dalam 4 bagian yang dipisahkan oleh tanda dash (-). Contoh: buku “Saya Bermimpi Menulis Buku” yang termasuk dalam seminar kit kemarin berkode 979-99681-1-9
- Bagian pertama adalah kode negara (Indonesia = 979),
- Bagian ke dua adalah adalah kode penerbit (Penerbit Kolbu=99681),
- Bagian ke tiga adalah jumlah judul buku yang pernah diterbitkan oleh penerbit tersebut (buku tersebut adalah buku pertama yang pernah diterbitkan oleh penerbit Kolbu),
- Bagian terakhir adalah kode acak sebagai identitas bukunya sendiri.
Buku Harry Potter yang kemarin dibawa-bawa oleh Nanin mencantumkan angka hampir 9000 di bagian ke tiga dari ISBN-nya!
Image: gue dapet hadiah buku berkat kerajinan gue mengisi formulir penetapan target kapan gue mau bikin buku. Peserta lainnya kebanyakan nggak ngisi formulir tersebut, males kali.
yups.. dan sekarang lagi marak juga self publishing..salah satunya suamiku tapi masih buku terjemahan.. alhamdulillah separoh dari yang tercetak sudah terdistribusi.. n keuntungannya ga sebesar itu.. just info.. karena kadang juga disk ke dist range bisa sd 50 %..
IMHO. memang dunia penerbitan buku selalu menarik mas. itu yang bikin saya betah di perbukuan. tetapi setiap usaha kudu diimbangi dengan resiko juga. Karena sekali judul gagal di pasar, modalnya juga susah baliknya.
Ooooooooooooooh, gitu yah *manggut2 baca tulisan Mas Agung dan reply2 sarat informasinya*hem hem hem…, jadi tertarik nerbitin buku sendiri euy! :-p
tau buangeeeet…. pelajaran di semester pertama, pengantar ilmu perpustakaan. Elo bisa mendaftarkan buku terbitan elo di Perpustakaan Nasional untuk mendapatkan ISBN. Bayarnya gak mahal kok, tapi salah satu syaratnya elo harus rela memberikan beberapa eksemplar buku yang udah di ISBN-in sebagai implementasi UU Deposit. Ini dimaksudkan supaya perpustakaan nasional memiliki semua bahan terbitan yang dipublikasikan… dan bisa dimanfaatkan buat orang lain yang ingin membaca buku elo di perpustakaan….
ya, kemarin pembicaranya juga menyinggung soal ini. para penulis baru yang belum punya nama, akan lebih sulit untuk masuk ke penerbit sekalipun naskahnya bagus,karena faktor nama besar penulis sangat berpengaruh terhadap kelarisan buku tsb di pasaran. idealnya, kita jadi artis dulu kaya dewi lestari, baru tulis buku. dijamin laku deh 🙂
ya udah, next time pollingnya akan berbunyi sbb:apakah penemuan hari ini juga merupakan hal baru buat elo?Iya, baruAgak kurang baru sih, tapi juga nggak lama2 amatDulu sih pernah tau tapi sekarang lupaDulu pernah diterangin tapi nggak terlalu ngerti, tapi sekarang lupaSekarang definisi ‘baru’ yang lo maksud gimana dulu nih…huhuhuhuhu 🙂
eh iya nit, baru inget. kemarin salah satu pesertanya ada yang nanya sama pembicarana, “gimana dengan penggunaan footnote pada novel, perlu nggak?”Trus jawab pembicaranya, “Ah saya rasa berlebihan ya, kalo sampe ada novel yang pake footnote segala. Malah cuma akan bikin pembacanya pusing!”hihihi, gue langsung inget sama Adit dan sejuta footnote nggak pentingnya yang jadi trademark itu 🙂
mewakili menjawab.. :-)ga ada ketentuan sekali nyetak minimal berapa, tapi kalo penerbit biasanya nyetak minimal 3000 copy. Mungkin supaya nutup biaya ini itunya and untung buat penerbit and penulis sama2 enak kali ya?sayang kemaren ngga ikutan nad.. bener2 bagus buat orang2 yg pengen and seneng nulis!mana ngebawainnya tuh ga ngebosenin..
LOL @ salah kostum :-)iya gung gw baru tau… tks for sharing 🙂
selamat! agung udah dapet ilmu baru. dan alhamdulillah, mau berbagi ilmunya sama kita². soal self-publishing, aku mo sedikit sharing. aku pernah nanya seorang teman di penerbitan ternama. pertanyaannya begini: “no (nama temen itu), kalau ada yang mau nerbitin sebuah karya tulis jadi buku, gimana caranya?”no: “siapa namanya?”aku menyebut namano: “maksudnya, dia sudah ‘punya nama’ apa belum?”aku bilang, “belum”. terus si no menyarankan mencetak buku dg biaya sendiri dan mendistribusikannya sendiri (dia bisa “membantu”, dengan fee, tentunya) menurutnya, seandainya orang tsb “punya nama” atau karyanya “sangat layak jual”, pihaknya bersedia dg sistem royalti tsb.
Itu pollingnya nggak ada pilihan : “gue baru tau dikit, trims ya udah nambahin ilmu gue…”?Kalo ada saya pilih yang ntu tuh…
yah jd nyesel gak ikut…hm…boleh jg infonya…thanks gung…gung, kmaren dibahas gak minimal skali cetak brp copy?
pinjem dong Ida..hehehe….
ini kalo ga aku paksa maju ke depan panggung ya ga mau..tuuh, untung maju kan? aku jadi punya 3 buku baru! hehehehe..