Things changes after you get married, i know that.
But if i thought i’m prepared for those changed, boy, how wrong I am!
Perubahan-perubahan pertama yang gue temukan dalam sekian hari ini punya status baru sebagai suami adalah:
…jam check-out hotel
Dulu, jam gue check-out dari suatu hotel tergantung dari kualitas hotelnya. Kalo gue nginep di hotel2 asal yang emang cuma buat numpang tidur doang, gue check-out pagi2, udah dengan nenteng ransel siap berkelana keliling Bandung. Tapi kalo hotelnya cakepan dikit, gue check-out pas jam 12 teng. Kayaknya sayang kalo belum memaksimalkan seluruh fasilitas di hotel tsb.
Kali ini, berhubung event-nya special, gue nginep di Sheraton, sepulang dari gedung tanggal 3 Juli untuk check-out tanggal 4 Julinya.
Tanggal 3-nya sebenernya juga nggak terlalu optimal karena gue dan Ida baru sampe hotel sekitar jam 5, dan abis maghrib udah berangkat lagi ke Sierra. Pulang lagi ke hotel jam 1/2 10 malem.
Dan inilah yang terjadi di pagi hari tanggal 4 Juli:
Gue bangun, ucek2 mata, dan kembali untel2an di balik selimut. Ooooh… what a wonderful day, pikir gue. Matahari bersinar jinak lewat jendela. Tempat tidurnya empuk. Bantalnya banyak (gue suka tidur dengan banyak bantal, dengan salah satu di antaranya digunakan untuk nutupin muka).
Tau-tau Ida nanya,
“Yang, keluarga kamu mau pulang ke Jakarta jam berapa ya hari ini?”
“Taaauk… biarin lah, urusan mereka mau pulang jam berapa.”
“Lho, nggak bisa gitu dong yang, kita kan harus ketemu mereka sebelum pulang.”
“Buat apa?”
“Loh kok buat apa, ya pantesnya gitulah, bilang selamat jalan, gitu.”
“Nggak bisa di-sms aja?”
“Ck…!”
Begitulah, di hari pertama perkawinan, sang istri telah menghardik suaminya… ah sedih… hiks …
Abis ngomong gitu Ida nelepon salah satu kakak gue. Ngobrol sebentar. Setelah nutup telepon:
“Yang, mereka mau pulang jam 10”
“Ok.”
“Yuk, siap-siap.”
“Siap-siap?”
“Siap-siap ke tempat mereka.”
“Aduuuuuuuhhhhhhhhhhhh….”
“Eee.. nggak boleh gitu dong, ayo, mandi ya…”
Damn… di pagi hari yang cerah, di dalam hotel yang indah, gue harus mandi pagi2, sarapan buru-buru, dan check out jam setengah sembilan.
..life’s soooo unfair.
…status sebagai suami/istri dalam konteks umum dan seluas-luasnya.
Pagi-pagi gue kebelet multiply.
“Yang, aku mau ke warnet dulu ya.”
“Akunya ditinggal?”
“Kamunya ada perlu ke warnet nggak?”
“Enggak.”
“Ya udah sini aja.”
“Iya deh… jangan lama-lama ya…”
Lama atau enggak memang ukuran yang sangat relatif. Rupanya 3 jam yang menurut gue sebentar itu dirasa lama buat Ida. Begitu gue pulang:
“Ih kamu…. telah meninggalkanku sebagai seorang istri ke warnet lama banget.”
Siangan dikit, mau pergi lagi. Kali ini bareng. Gue mampir ke kamar mandi dulu. Ida nanya,
“Kamu mau ngapain?”
“Aku sebagai seorang suami mau pipis dulu.”
…ngambil makan/minum, termasuk air es, mungut baju jatuh, beresin tempat tidur, dan kegiatan domestik lainnya.
Ibunya Ida rupanya telah memberikan pembekalan tentang bagaimana menjadi istri yang baik kepada anaknya. Sementara gue terbiasa selama ini ngapa-ngapain sendiri. Hasilnya adalah:
[waktu mau makan siang]
“Ida, itu Agung diambilkan nasi.”
“Mau seberapa nasinya, yang?” kata Ida sambil ngambil piring.
“Sini aku ambil sendiri juga bisa,” kata gue sambil berusaha ngambil piring di tangan Ida.
“Enggak, enggak, sini aku ambilin sebagai seorang istri,” kata Ida sambil mempertahankan piringnya
“Akunya ica iliiiii… (=bisa sendiri, bahasanya Nara, keponakan gue waktu masih cadel)” sambil terus menarik piring di tangan Ida.
“Agung, biarin Ida belajar biar dia tau aturan sedikit,” kata ibunya Ida menengahi. Ya sudahlah gue nyerah.
Abis makan, minum abis. Gue bawa gelas kosong gue menuju kulkas. Ketahuan sama Ida. Ida bangun dari duduknya. Gue jalan tambah cepet. Ida juga jalan makin cepet. Gue duluan sampe kulkas.
“Sini sini aku ambilin minumnya,” kata Ida
“Aku ica ili, ica iliiiiiiiii….”
“Agung, biar diambilkan Ida…” kata ibunya.
Sejak itu gue sadar, ternyata banyak kegiatan yang nggak lagi bisa gue lakukan sendiri. Sepatu gue basah, tau-tau udah dicuci sama Ida “…sebagai bakti seorang istri.” Baju nggeletak di lantai, karena emang kebiasaan gue kalo abis ganti baju gue buang sembarangan, dipungut sama Ida, “Liat nih, baju berantakan gini, untung ada aku sebagai seorang istri…”
Jengah banget gue diladen-ladenin, dan menurut gue nggak masuk akal banget kenapa istri musti ngeladen-ladenin suami. Hari gini, suami dan istri sama-sama capeknya, sama-sama cari duit, kenapa yang satu harus ditambahin lagi capeknya sih?
Tapi ya sudahlah, dan keliatannya Ida justru lagi seneng-senengnya main “istri-istrian”, gue pasrah aja. Mudah-mudahan lama2 dia bosen.
Pikir-pikir, Kahitna bener banget waktu bilang “Tak Sebebas Merpati”. Gue pikir, bahkan beo dalam sangkar juga relatively lebih bebas dari gue. Minimal dia bisa minum sendiri tanpa diambil-ambilin.

Tinggalkan Balasan ke mbot Batalkan balasan