Supernova – Petir

“Tak ada cara untuk menggambarkannya dengan tepat. Tapi coba bayangkan ada sepuluh ribu ikan piranha yang menyergapmu langsung. Kau tak mungkin berpikir. Tak mungkin mengucapkan kalimat perisahan apalagi membacakan wasiat. Lupakan untuk berpisah dengan manis dan mesra seperti di film-film. Listrik membunuhmu dengan sensasi. Begitu dahsyatnya, engkau hanya mampu terkulai lemas. Engkau mati tergoda.”
~||~
Kesan pertama gue tentang buku ini: “siapa sih yang ngedesain covernya?” Gambar yang lo liat di review ini adalah cover yang udah dibuka. Kalo lo liat aslinya, cover ini terlipat dua, sehingga yang nampak di depan hanya warna hitam dengan lubang jendela di bagian tengahnya. Keren banget.

Memasuki seri ke tiga dari rangkaian Supernova, pembaca masih diajak nebak-nebak apa kaitan cerita yang menghubungkan ketiga buku ini. Tokoh pasangan gay Ruben dan Dhimas cuma muncul di bab awal, mengisyaratkan keterkaitan dengan kejadian orang hilang yang mengawali buku ke dua. Selebihnya, narasi tunggal seorang tokoh bernama Elektra, yang bisa punya nama eksotis gitu hanya karena bapaknya tukang reparasi alat-alat elektronik dan tergila-gila sama yang segala hal yang berbau listrik.

Dari review beberapa orang tentang buku ke dua dulu yang ditulis dengan gaya yang unik, yaitu tanpa kutipan sama sekali (ngga ada tanda ” untuk membedakan apakah ini dialog langsung, narasi, atau suara bathin), beberapa pembaca mengeluh bingung. Buat gue sih cukup jelas kok, asal teliti aja bacanya. Dee cukup jelas menarik garis antara ucapan seseorang dengan narasi yang mengikutinya. Dibantu juga dengan kalimat-kalimat yang cenderung pendek-pendek, sehingga mudah dicerna.

Buku ini juga cukup menyenangkan buat dibaca karena sikap tokoh utama yang cuek dan rajin melontarkan celetukan-celetukan sinis yang bernada kocak, walaupun sebenarnya ini bukan novel komedi. Selain itu settingnya yang lagi-lagi di Bandung (ada apa sih dengan Bandung ya, kok orang-orang yang tinggal beberapa lama di sana jadi bisa terancam jadi penulis2 kreatif?)

Simak kutipan dialog ini:
Jadi? tanyaku bingung
Jadi, jangan berusaha menyetrum. Ibu Sati menimpal tenang.
Usaha apa, dong Bu? Dagang lotek?

Terlepas dari kenyamanan untuk dibaca, gaya penceritaan yang ringan ini yang membuat Supernova – Akar (dan kelihatannya buku Petir ini juga) dikritik para fans Supernova yang pertama karena “terkesan jadi kurang berbobot”. Pertanyaannya sekarang, apa iya bacaan berbobot itu harus sesuatu yang sulit dicerna?

Mirip dengan Supernova – akar yang tokohnya bergaya avatar; penjelmaan dewata di muka bumi yang punya kekuatan supranatural; tokoh Elektra ini juga begitu. Dia bisa nyetrum kaya Gundala. Gue jadi bertanya-tanya, tokoh macam apa lagi yang bakal muncul di Supernova 4 nanti. Jangan2 bisa terbang? Ditambah 3-4 tokoh super lagi, cukup deh buat bikin X-Men versi Indonesia, hehehe.

Secara keseluruhan, buku ini nyaman buat dibaca, memuat filosofi2 menarik tentang kehidupan (walaupun ngga bisa dibilang terlalu baru juga), tapi buat yang baca buku ini untuk menemukan hubungan cerita dengan Supernova pertama, siap-siap tambah bingung deh. Untungnya di bagian akhir muncul seorang tokoh yang kaya-kayanya sih akan menjadi link antara tokoh di ‘Petir’ dan di ‘Akar’.

5 comments


  1. nitasellya said: dan ini satu-satunya buku Dee yang bisa bikin gue ngikik bacanya.

    iya, buku2 sebelumnya memang nggak ada lucu2annya sama sekali. kemana ya sambungannya kok nggak nongol2 lagi..


  2. gitaditya said: mungkin ini adalah satu dari sedikit review positif yang gw baca soal petirnya dee yang banyak dicela orang…gw pribadi entah kenapa suka bgt sama petir ini dan menurut gw sih ga seringan yang orang bilang,,,

    setuju, lagian kalopun ringan, terus kenapa? apakah kalo suatu buku enak dibaca, ngga bikin pusing, lantas mutunya berkurang? gue sih yang penting