My Pensiun Journey (4): Bisnis Kuliner

Published by

on


suasana dapur kotakkue.com tahun 2007

Bagian sebelumnya: cobaan bisnis sampingan.

Sejak pertama kali menikah dengan Ida, gue langsung sadar bahwa gue telah menikahi seorang pebisnis. Selalu ada aja ide bisnisnya. Mungkin karena latar belakang keluarganya yang memang banyak pebisnis. Sedangkan keluarga gue, lebih banyak yang jadi pegawai.

Ide-Ide yang Menguap

Ide bisnis pertama yang dia cetuskan adalah buka toko selai.

“Emang kamu suka banget makan selai?” tanya gue yang perasaan jarang lihat dia makan selai.

“Enggak.”

“Tahu cara bikin selai?”

“Enggak juga. Tapi kayaknya lucu aja kalau punya toko yang khusus jualan selai.”

OK, ide pertama yang kurang jelas aplikasinya ini menguap begitu saja.

Berikutnya:

“Yuk, kita jualan cakwe,” katanya.

“Kenapa cakwe?”

“Di Bandung aku suka beli, laris deh. Cakwenya dikasih topping macem-macem gitu. Bikin cakwe kan gampang.”

“Terus mau jualan di mana, dan siapa yang jaga?”

“Kita buka kios aja di pinggir jalan. Terus bayar orang untuk jagain.”

Dua masalah:

Pertama: Di sekitar rumah kami yang masih nebeng di rumah Ibu gue waktu itu, sama sekali nggak ada spot yang aman untuk buka kios tanpa diuber Satpol PP.

Kedua: bisnis baru buka langsung diserahin ke orang bayaran tanpa pengawasan pemilik sama sekali? Ide buruk. Sampai sekarang pun masih sering lewat cerita sedih para pemilik usaha yang bangkrut gara-gara duit penjualan dikorupsi pegawai kepercayaan.

Ide cakwe juga menguap.

Jualan Kue Modal Nekad

Sampai akhirnya tahun 2007 tiba-tiba dia ingin jualan kue online.

“Kamu bisa bikin kue?”

“Enggak, belajar dulu makanya,” kata Ida.

Maka ikutlah dia sebuah komunitas bernama Natural Cooking Club. Klub pimpinan Ibu Fatmah Bahalwan ini sudah cukup banyak mencetak pebisnis kuliner handal yang bermula dari nol. Ida ambil beberapa paket belajar membuat kue.

Hasilnya?

Begini:

kue gagal

Tercatat di posting yang ini, bulan Agustus 2007 masih kayak gini bentuk kue yang dibuat oleh Ida. Jangankan dijual. Dikasih gratis pun orang pasti masih mikir.

Lalu entah gimana, empat bulan kemudian Ida cukup pede untuk meluncurkan website kotakkue.com (sekarang sudah nonaktif) dan mulai berjualan kue secara online. Di luar dugaan, ternyata cukup banyak yang percaya untuk beli.

Walaupun bener seperti kata Mike, harga jual kue produksi rumahan nggak akan bisa bersaing dengan toko kue besar. Ida beli bahan baku di pasar, minimarket atau kios. Jumlahnya nggak seberapa. Kena harga eceran. Akibatnya, harga jualnya bisa sampai 2-3 kali lipat toko kue besar.

Tapi tetep ada yang beli. Kenapa?

Pelajaran Bisnis yang Didapat

Ini pelajaran pertama yang gue petik tentang bisnis:

Harga bukan satu-satunya penentu penjualan.

Ya, dari harga, toko kue rumahan pasti kalah saing. Tapi bisa menang bersaing dari aspek lain. Celah persaingan yang diandalkan Ida: bentuk kuenya bisa dipersonalisasi.

Ini beberapa di antaranya:

Jadi setiap pemesan bisa ngobrol dulu sama Ida, mau bikin kue seperti apa. Lalu Ida memikirkan konstruksi kuenya akan seperti apa. Kadang perlu sedikit negosiasi juga, kalau ide pemesan terlalu abstrak dan susah diterjemahkan dalam bentuk kue.

Tapi yang jelas, di tahun itu, belum banyak produsen kue yang bisa nerima bentuk pesanan. Dan toko kue besar udah jelas nggak akan bisa. Mereka nggak akan punya waktu untuk berdiskusi dengan pelanggan satu per satu seperti Ida.

Dengan kata lain, Ida nggak bertarung di arena yang dikuasai kompetitor. Toko kue besar punya kekuatan modal. Maka tukang kue rumahan jangan coba-coba bersaing harga. Pasti kalah. Masih banyak arena lain yang belum, bahkan nggak akan bisa, dimasuki toko kue besar. Bertandinglah di sana.

Selain soal harga, ada satu lagi pelajaran yang gue dapat dari bisnis ini.

Awalnya Ida iseng nanya ke salah satu pembeli. Belum pernah ketemu sama sekali, tapi langsung percaya untuk beli dalam jumlah banyak. Nilai pesanannya di atas satu juta. Di tahun 2007, itu uang yang nggak sedikit untuk dipercayakan pada tukang kue yang baru lulus kursus 4 bulan.

Ida nanya, “Kenapa kok yakin untuk pesan sebanyak ini ke aku?”

Jawaban pembeli itu mengejutkan, “Soalnya saya suka baca tulisannya di blog.”

Tadinya gue kira orang tertarik nyoba makanan baru karena dapet rekomendasi rasanya enak. Atau harganya murah, seperti kata Mike. Tapi ternyata keputusan orang beli nggak sesempit itu. “Suka baca tulisan di blog” juga bisa jadi penentu keputusan.

Dengan kata lain: personal branding ikut menentukan.

Orang bukan sekadar beli produk. Mereka juga beli citra penjualnya. Lebih tepatnya: citra yang mereka tangkap dari media sosial.

Sebagian orang berpikir terlalu njelimet tentang personal branding. Bahkan sampe ikut training segala. Padahal sederhana banget: menyeleksi aspek apa aja yang mau ditampilkan di media sosial.

Sesederhana orang memilih untuk nggak gantung handuk rombeng, numpuk kaleng bekas berkarat, atau gantung kolor bolong di teras. Lu bisa, dan seharusnya menyeleksi ketat, aspek apa dari hidup lu yang lu pajang di ranah publik. Itu, esensi dasar dari personal branding.

Personal branding: sisi apa dari jati diri kita yang ditampilkan ke ranah publik.

Kata kuncinya: ‘jati diri‘. Jadi kalo aslinya miskin tapi mengemas diri agar nampak tajir di medsos, itu bukan personal branding, tapi nipu. Personal branding tetap berdasarkan apa yang sesungguhnya ada di kita, tapi dikurasi, diseleksi, mana yang pantas untuk tampil di ranah publik, dan mana yang enggak.

Kalau nggak mau dinilai pemarah, jangan suka debat kusir di status orang.

Kalau nggak mau dituduh bego, jangan suka ngotorin timeline dengan hoax.

Dan yang terpenting:

Kalau ingin dipercaya, jangan suka bohong, atau menghalu, di medsos.

Di tahun segitu, kami udah sadar pentingnya personal branding. Tapi kami nggak menyangka bahwa belakangan, bertahun-tahun kemudian, bisa berperan sangat penting bagi perekonomian keluarga.

Yang jelas, sejak awal keberadaannya, kotakkue.com nggak pernah kesulitan cari pembeli. Bahkan, terlalu gampang. Dan ini menjadi masalah baru. Tapi lengkapnya mending diceritain di posting berbeda.

Bersambung…

3 tanggapan untuk “My Pensiun Journey (4): Bisnis Kuliner”

  1. The Stress Lawyer Avatar

    seru ya pak kalau sama-sama punya jiwa bisnis, kalau saya dengan istri cuma punya angan-angan ingin berbisnis, belum berani buat memulai..

    Suka

    1. Agung Nugroho Avatar

      Mulai dari yg risikonya kecil dulu aja Pak, setelah jalan seru kok! 😁

      Suka

Tinggalkan Balasan ke My Pensiun Journey (3): Cobaan Bisnis Sampingan – (new) Mbot's HQ Batalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari (new) Mbot's HQ

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca