
Kalau gue boleh mengusulkan sebuah pelatihan wajib untuk seluruh rakyat Indonesia, itu adalah Pelatihan Ngomong Sambil Bermuka Lempeng.
Idih, pelatihan apaan tuh?
Pelatihan Ngomong sambil Bermuka Lempeng (PNSBL) akan mendidik peserta untuk membicarakan masalah yang dirasa mengganggu secara langsung dengan mempertahankan muka lempeng, menjelaskan duduk permasalahan secara jelas dalam intonasi santai, nggak pake nyolot, nggak pake ngegas, nggak pake nyindir, nggak pake drama, dan yang terpenting: nggak pake medsos.
Kenapa ini penting? Berikut beberapa contoh:
Contoh 1: Pinjaman Duit Berbuntut Skandal
Bu Yati pinjem duit sejuta dari tetangganya, Bu Darmi. Bu Yati janji akan ngelunasin sesudah suaminya gajian tanggal 25. Nyatanya udah tanggal 10 bulan berikutnya, nggak ada tanda-tanda pembayaran dari Bu Yati.
Bu Darmi mulai senewen. Maka waktu sama-sama ngerubungin abang tukang sayur keliling, dia mulai nyindir-nyindir Bu Yati. Sayangnya, yang disindir sama sekali nggak menunjukkan gelagat akan ngeh. Justru Abang Sayur bermata elang yang menangkap ada yang aneh. Abang Sayur lantas mendiskusikan soal ini dengan Bu Tuti, ibu-ibu bermulut lancip yang suka sesak napas kalau lihat tetangga beli perabot baru. Secara komprehensif, Bu Tuti lantas berspekulasi liar menghubungkan antara seringnya suami Bu Darmi ‘tugas luar’ dengan ‘aktivitas bisnis’ Bu Yati.
Sebulan kemudian, gosip di kalangan ibu-ibu komplek telah berkembang sedemikian rupa jadi:
- suami Bu Darmi selingkuh dengan Bu Yati
- anak Bu Yati liar di kehidupan malam
- keponakannya pengangguran dan terlibat narkoba
- bahkan kucingnya pun bejat suka nomplokin ayam tetangga
Padahal akan lebih mudah, sederhana, hemat waktu dan tenaga kalo:
“Bu Yati, udah lewat tanggal 25 nih… uang yang sejuta udah ada?” tanya Bu Darmi dengan muka lempeng.
“Astaga Bu Darmi, aku kok lupa sama sekali. Maaf ya Bu, ini saya bayar langsung. Maaf sekali lagi ya.”
Contoh 2: Telat Berbuntut Gosip Kantor
Rustam kesel ngelihat ulah bawahannya, Dedi, karena sering telat. Dia lantas menggelar meeting yang antara lain dihadiri Dedi, lalu membahas secara samar tentang pentingnya ‘kedisiplinan kerja’. Rustam berharap, Dedi nangkep sinyal tersebut dan nggak telat lagi.
Boro-boro nangkep sinyal, Dedi masih aja sering telat. Akhirnya Rustam curhat. Ke mana lagi kalo bukan medsos.
“Seenaknya banget jadi orang, emangnya ini kantor moyang lu?” tulisnya di IG story, yang otomatis repost ke FB story dan status WA. Nggak lupa dia copas juga ke kolom-kolom komentar para anggota komunitas FB Pro-nya sebagai bentuk salam interaksi.
Posting Rustam sampai ke Ardi, orang dari divisi sebelah yang kebetulan juga berstatus anak dari keponakan sepupu pemilik perusahaan. Ardi mengira, karena story itu sebut-sebut ‘moyang’, dialah sasaran tembaknya. Maka Ardi lantas curhat sambil ngopi sama Silvi, sekretaris Direktur. Silvi, kaget dengan kelancangan Rustam, langsung lapor pada bosnya, Pak Direktur. Pak Direktur lantas menerbitkan surat edaran tentang pentingnya bijak bermedsos. Akibatnya, Dora, mbak-mbak yang selama ini rajin jualan Tupperware di FB, merasa tersindir. Dora ngira, kegiatan perdagangannya telah dicepuin sama Hani, cewe genit bermulut nyinyir yang suka ngelirik sinis waktu sama-sama benerin lipstik di toilet. Demikianlah seterusnya permasalahan ini bergulir dalam sebuah lingkaran setan.
Padahal akan lebih mudah, sederhana, hemat waktu dan tenaga kalo:
“Ded, dalam 10 hari kerja terakhir lu telat 8 kali loh. Tolong dateng ontime dong, jadi gue nggak repot nyariin kalo butuh elu pagi-pagi,” kata Rustam dengan muka lempeng.
“Duh sori boss, ini lho, deket rumah lagi ada galian, itu gue udah berangkat pagian pun masih aja telat. Pusing deh,” jawab Dedi.
“Emang lu biasa lewat mana?”
“Jalan A”
“Jiah, jalan itu emang parah. Mending lu lewat jalan B, lebih muter dikit tapi lancar!”
“Hah, serius? OK deh besok gue coba lewat sana. Kok nggak kepikiran ya.”
Besoknya, Dedi nyoba lewat jalan B dan nggak telat lagi.
Contoh 3: Presentasi Berbuntut Block
Rini senewen karena lagi jadi sasaran prospek Dina, temen kuliahnya yang sekarang jadi pebisnis MLM. Lewat Whatsapp, Dina ngajak Rini ketemu untuk ngejelasin bisnis MLM-nya.
Rini sebenernya udah pernah dengerin presentasi tentang MLM yang sama. Sampe 3 kali malah. Karena orangnya nggak enakan, dia diajak sama 3 orang yang berbeda, dan ikut ketiga-tiganya. Padahal sama sekali nggak tertarik. Eh, sekarang diundang lagi untuk keempat kalinya sama si Dina.
Rini sebenernya ingin nolak tawaran Dina, tapi nggak enak ngomongnya. Akhirnya Rini tetep dateng. Duduk hampir 2 jam dengerin penjelasan Dina yang penuh semangat tentang skema bisnisnya, abis itu ngeblokir Dina di WA, IG sama Twitter.
Padahal akan lebih mudah, sederhana, hemat waktu dan tenaga kalo:
“Dina, sori ya, aku udah tiga kali dengerin presentasi dari MLM kamu, dan nggak tertarik. Aku lagi mau kerja di kantor aja. Memang kerjaanku sekarang ini gajinya nggak akan sebesar kalo ikut MLM, tapi aku suka dan mau fokus di sini. Seperti kamu bilang, kalo mau sukses kita harus fokus, kan?”
“Oh gitu. OK Rini, nggak papa. Nanti kalo kamu berubah pikiran, kontak-kontak aku ya! Tapi kita tetep jadi dong makan siang bareng, janji deh nggak akan ngomongin MLM.”
Ngomong sambil Bermuka Lempeng adalah cara komunikasi yang paling hemat waktu dan tenaga, meminimalkan distorsi dan salah paham, tapi entah kenapa sering dihindari dengan alasan ‘nggak enak ngomongnya’. Padahal memilih cara apa pun untuk menggantikan cara ngomong langsung berdampak jauh lebih nggak enak.
Hukum alam: setiap kali kita menghindar untuk ngomong langsung dengan alasan ‘nggak enak’, kita sedang memperbesar peluang untuk menjebak diri sendiri dalam situasi yang jauh lebih ribet dan nggak enak di kemudian hari.
Beberapa poin yang perlu dijaga selama Ngomong sambil Bermuka Lempeng:
- Jelasin apa masalahnya dan gimana masalah itu mengganggu elu
- Pakai kalimat positif (“Tolong dateng ontime dong” lebih baik daripada “Jangan telat dong”) agar lebih jelas apa kondisi yang diinginkan
- Usulkan sebuah solusi yang bisa sama-sama menguntungkan, atau minimal paling sedikit kerugiannya untuk kedua belah pihak
- Jangan nuduh, berasumsi, atau ngatain (“Lu kok makin males sih jadi telat melulu gini)
“Tapi skenario di ketiga contoh ini terlalu gampang. Masa cuma dengan ngomong sekali langsung beres masalahnya. Gimana kalo Bu Yati tetep aja nggak bayar utang, Dedi tetep telat, dan Dina tetep ngeyel nawarin MLM?”
Ya ajak ngomong sekali lagi lah!
updated on 30 Mei 2025, 06.49

Ada komentar?