Hikmah Colokan Berkaki Tiga

Weekend kemarin, gue, dengan sangat telatnya, baru pertama kali dalam hidup menginjak negeri Singapura. Semua benda yang kayaknya akan berguna udah gue bawa, kecuali satu, yang baru gue sadari saat temen gue nanya sesaat setelah mendarat, “Bawa converter colokan kaki tiga, kan?”

Duh, gak bawa. Gue berasumsi karena Singapura deket banget dari Indonesia, harusnya colokannya sama aja. Asumsi tak berdasar yang salah, dan ngerepotin. Padahal di rumah gue punya converter colokan multifungsi, yang bisa meng-convert colokan berkaki apa pun jadi berkaki apa pun.

“Gak papa, nanti beli aja di 711, paling harganya cuma 7 dollar,” kata temen gue lagi.

Hmm.. 7 dollar, artinya sekitar Rp72 ribu. Lumayan mahal juga, tapi apa boleh buat daripada dua hari nggak bisa nge-charge HP, kan.

Toko 711 pertama gue mampirin. Di sana ada universal converter seperti yang gue punya di rumah, tapi harganya… 38 dollar!

Makasih banyak deh, kalo gue harus ngabisin hampir Rp400 ribu untuk converter yang di Jakarta paling mahal cuma ban-go.

Gue lihat-lihat lagi, di rak sebelahnya ada model lain seharga 28 dollar alias hampir 300 ribu.

“Kemahalan tuh, cari tempat lain aja. Harganya cuma 7 dollaran kok. Yah, paling mahal 10 dollar deh,” temen gue mencoba menyemangati.

Dalam rangka nyari makan siang, kami mampir ke Lucky Plaza dan nemu sebuah toko elektronik. Gue langsung merapat.

Di toko itu, converter colokan kaki 3 harganya 15 dollar (Rp 150 ribu-an).

Udah jauh lebih murah dari yang tadi, tapi masih kemahalan dari estimasi temen gue yang maksimal 10 dollar.

“Beli dua,” temen gue yang lain nimbrung, “saya juga perlu ini, jadi 15 dollar dapat dua, boleh?”

Enci penjualnya nampak berpikir keras sesaat, lalu mengangguk. Hore! Jatuhnya jadi cuma 7,5 dollar sebijinya, masuk standar wajar. Urusan per-nge-charge-an* aman!

Gue pun jalan-jalan menikmati Singapura dengan hati tenang, sampe hari kedua mampir ke Masjid Sultan di Kampong Glam.

Masjid Sultan Singapore
Masjid Sultan. Keren ya (fotonya).

Di belakang masjid itu banyak warung penjual suvenir, makanan dan minuman. Temen gue mampir ke salah satu warung untuk beli minum dan balik dengan muka sedih.

“Mas,” katanya, “ternyata di warung-warung itu juga jual colokan… Dan tau nggak harganya berapa?”

“Lima dollar?” Tebak gue.

“SATU DOLLAR MAS, SATU DOLLAR…!” Katanya dengan ekpresi:

“Hah?! Haduh, lagian ngapain sih pake nanya-nanya harga colokan, kan kita udah beli kemarin! Bikin kesel aja!”

“AKU NGGAK NANYA MAS, ITU HARGANYA DITULIS DI KARTON GEDE-GEDE!”

Sialan si enci Lucky Plaza. Pas ditawar mukanya sok:

Padahal dalam hatinya:

Sialaaan…

Tapi pikir-pikir, pengalaman ini sebenernya simulasi mini dari apa yang mungkin sering terjadi dalam hidup kita, yaitu:

Kita mematok standar tertinggi yang bisa kita capai berdasarkan dua hal:

  1. Omongan orang lain
  2. Pengalaman masa lalu

Padahal keduanya mungkin sama-sama nggak akurat!

Ini berlaku untuk berbagai hal:

Pekerjaan

Lu mulai kerja dengan gaji 2 juta. Setelah 15 tahun kerja, lu berhasil punya gaji 20 juta dan lu berpikir “Udah lumayan banget peningkatannya ya, syukurlah.” Orang-orang terdekat lu juga bilang, “Wow gaji lu sekarang udah gede banget ya.” Lantas lu berpikir, “Inilah batasnya, inilah gaji terbesar yang bisa gue dapat dalam hidup.”

Padahal enggak. Di luar sana mungkin masih banyak kesempatan yang bisa mengggaji lu 30 juta, 50 juta, 100 juta, bahkan semiliar. Lu hanya belum ketemu aja.

Melangsing

Lu gembrot dari kecil. Berat lu 120 kilo. Lalu lu diet dan olah raga, sampe turun ke 80 kilo. Lalu lu berpikir, “Yah ini udah lumayan banget bisa turun 40 kilo. Memang belum six pack, tapi mungkin udah mentok segini.” Orang-orang terdekat lu juga bilang, “Udahlah, 80 kilo juga udah cukup kok. Jangan ngoyo.” Lantas lu berpikir, “Inilah hasil terbaik yang bisa gue capai.”

Padahal enggak. Lu bisa memilih mau berhenti di berapa kilo, bentuk badan seperti apa, selama lu mau berusaha dan tau cara yang bener.

Stamina

Lu mulai belajar olah raga lari. Pas baru mulai pace lu payah banget, 3 kilo lu tempuh dalam 45 menit. Lu latihan rutin, dan sekarang udah bisa menempuh jarak itu dalam 30 menit. Lalu lu mikir, “Udah lumayan banget peningkatannya, mungkin memang kemampuan gue mentoknya segini.” Orang-orang terdekat lu juga bilang, “Awas, inget umur…”

Enggak. Dengan latihan yang bener, lu mungkin bisa lebih cepat dan lebih cepat lagi.

Hikmah yang gue dapat dari converter colokan berkaki 3 adalah:

Kita yang menentukan hasil terbaik yang mungkin kita dapat. Siapa pun kita, apa pun yang udah kita punya, kita selalu bisa dapat yang lebih baik: asalkan mau dan tau caranya.

*bahasa apa ini

5 comments


  1. Cara yang lebih murah dan (semoga) aman kalau memang tidak membawa colokan kaki tiga, colokan yang tunggal ditusuk pakai pulpen (biasanya pakai pulpen hotel) baru dimasukkan colokan kaki 2 yang kita punya, karena setahu saya yang aktif hanya yg 2 kaki itu saja


    1. Kemarin temen juga ada yang nyaranin gitu, tapi dia sendiri nggak berani nyontohin 😂


  2. Malaysia juga colok 3 loh mas Agung. Sebenarnya ada cara lebih ringan, ada cara lebih murah meriah dan mungkin bisa dicari di SG, yakni sebuah plastik yang nahan colokan ketiganya sehingga colokan indonesia langsung dicolok. Coba digoogle image dengan keyword colokan plastik converter. Semoga membantu.

Tinggalkan Balasan