Hari-hari terakhir di kapal
Baca episode pertama rangkaian posting Oriflame Gold Cruise 2017 di sini
Jum’at 29 September 2017
Hari terakhir di kapal.
Sebelumnya udah diumumin bahwa bis yang mengangkut kami dari pelabuhan ke bandara Leonardo Davinci akan diatur berdasarkan jam keberangkatan pesawat. Gue dan Ida sebenernya dapet pesawat siang, tapi Ida punya rencana lain.
“Daripada kita cuma di kapal sampe siang, mendingan kita ikut bis yang berangkat pagi, jadi bisa jalan-jalan dulu di Roma!” kata Ida. Maka jam 5 subuh kami udah sarapan di Ocean View Cafe.

Sambil makan, kami bisa lihat lampu-lampu dari kapal Celebrity Silhouette yang sandar berdekatan.
Jam setengah 7, kami udah turun dari kapal. Tapi nampaknya banyak yang berpikiran sama dengan Ida: ingin cabut duluan biar bisa jalan-jalan dulu di Roma.

Awalnya sih seneng-seneng aja ya, menikmati udara pagi yang terang tapi nggak panas.
Tapi ketika sampe 1 jam kemudian masih belum ada juga bis yang akan menjemput kami, mulai timbul tanda tanya. Ada sesuatu yang nggak beres, ini. Penumpang terus bermunculan dari dalam kapal, tapi nggak ada bis yang nongol untuk ngangkut ke kota.
Akhirnya setelah tanya sana-sini baru dapet kabar bahwa kebetulan hari ini lagi ada unjuk rasa di pusat kota Roma. Akibatnya, jalan macet parah dan supply bis dari kota ke kapal ikut-ikutan terhambat. Uuu… tau gitu mending tidur-tiduran di kamar! Sialnya, kalo udah keluar dari kapal, nggak bisa masuk lagi.
Akhirnya untuk ngisi waktu bengong di tengah pancaran sinar matahari, kami foto-foto aja.

Baru sekitar jam 10 lewat ada bis yang muncul, sehingga kami sampe bandara sekitar jam 11, sekitar 4 jam lebih lambat daripada yang dicita-citakan.
Di bandara kami mulai hitung-hitungan. Waktu boarding sekitar jam 3, kalo dikurangi waktu antri di imigrasi dan proses tiket, maka kami harus standby jam 2. Artinya ada window waktu sekitar 3 jam.
Dari bandara ke pusat kota ada kereta seharga 14 euro per orang sekali jalan, konon stasiun tujuannya deket sekali dengan Colloseum. Frekuensi keretanya 15 menit sekali dan butuh waktu sekitar 30 menit sekali jalan. Untuk bolak-balik perlu 28 euro. Selain itu kami juga perlu nitip koper yang segede gaban ini, biaya penitipannya 6 euro per koper.
Artinya per orang perlu keluar 34 euro (Rp544 ribu) untuk perjalanan ke Colloseum yang mungkin hanya berlangsung sekitar 30 menit setelah dipotong waktu tunggu kereta dan perjalanannya. Selain itu mungkin juga jalan-jalannya akan senewen karena mikirin waktu yang mepet. Dengan segala pertimbangan itu, akhirnya diputuskan kami anteng di bandara aja deh. Minimal kalo ditanya orang, bisa bilang pernah sampe Roma walaupun cuma lama di bandaranya doang!
Keputusan untuk tetep di bandara nampaknya tepat, karena belum-belum kami udah harus berurusan dengan antrian sepanjang ini di counter Qatar Airways:
Karena koneksi internetnya kacrut, Ida anteng baca novel:
Setelah ngantri sepanjang itu, mbak-mbak petugas Qatar ngasih informasi mengagetkan, “I am sorry, your luggage is overweight.”
Loh kok bisa?
Qatar ngasih jatah 32 kilo untuk setiap orang. Gue berdua Ida, jadi jatah kami kalo digabung adalah 64 kilo. Di timbangan counter, kedua koper kami berbobot 34 dan 24 kilo, ditotal cuma 58 kilo, masih ada selisih 6 kilo dari batas bagasi maksimal kami berdua.
Tapi kemudian mbak counternya ngejelasin bahwa bobot maksimal per koper adalah 32 kilo. Koper berbobot lebih dari itu dianggap berisiko besar untuk pecah atau rusak saat masuk bagasi. Oo… begitu toh.
Nggak ada pilihan lain, kami bongkar koper deh di bandara:
Setelah ditata ulang, ditimbang ulang di counter dan beratnya sekarang jadi tinggal 31 dan 27 kilo. Lolos!
Masih ada banyak waktu sebelum proses di imigrasi dan boarding, maka rombongan nyebar nyari jajanan dan oleh-oleh. Gue memutuskan mending jadi bagian jaga koper aja deh,
Setelah itu kami makan siang di kantin bandara. Gue dan Ida beli 1 pizza dimakan berdua. Karena nggak yakin dengan jenis daging-dagingan yang dipake, kami pesen yang toppingnya keju dan jamur aja deh.

Selain pizza, gue juga nemu coklat favorit gue ini:
Di era 80-an sampe awal 90-an, coklat ini banyak beredar di supermarket-supermarket Jakarta. Tapi mungkin karena harga dollar terus naik, coklat impor ini makin lama makin nggak laku sehinga kemudian menghilang. Nggak lama kemudian, muncul jiplakannya, dengan bentuk yang sekilas mirip dan rasa yang terpaut jauh, bernama…Beng-Beng. Ya, kalo mau ngerasain kayak apa rasa Beng-Beng yang SEHARUSNYA, makanlah coklat ini.
Di kantin bandara juga ada rak berisi keripik-keripikan, dan kata Deedee yang udah mulai sakau makanan Indonesia, “Yang paling atas kayak keripik Karuhun…”
Setelah makan, kami melewati proses imigrasi yang antri panjang itu, lalu pindah ke area boarding melewati area pertokoannya. Sekilas serasa lagi ada di Grand Indonesia:
Seperti gue bilang, merek-merek yang ada di sini nggak asing-asing banget buat orang Indonesia. Soal perbelanjaan, Indonesia nggak kalah dengan Eropa lah.
Deket ruang boarding, Ida nemu gambar di dinding, salah satu landmark khas Roma dan dia berforo di depannya, biar rasanya seolah-olah sempet jalan-jalan, gitu…
Terbang sekian jam lagi ke Doha, mengalami lagi siaran ulangan segala hal yang terjadi pas berangkatnya, ya termasuk mati gayanya, pegel linunya, dan besernya. Pramugaranya orang Indonesia dan ramah sekali, jadi Ida memanfaatkan kesempatan untuk nanya hal-hal yang mboten-mboten seperti, “Kalo udah dikasih makan, boleh minta lagi nggak?”
Jawabannya ternyata boleh, selama makanannya masih ada.
Mendara di Doha, kali ini waktu singgahnya agak lama jadi sempet jalan-jalan agak banyak. Kalo mau beli coklat buat oleh-oleh, di bandara ini suka ada promo buy one get one.
Kami nyobain skytrain yang belum kami coba waktu singgah di perjalanan berangkat:
Skytrainnya nampak lebih baru dan lebih canggih dari bandara Roma, dan jalannya lebih halus juga nggak gradak-gruduk.
Ada pertokoannya juga, di sisi yang berbeda dengan sisi yang ada boneka Teddy-nya:
Sesampainya di Jakarta, naro koper di rumah, langsung nyegat bajaj menuju…
…Bakso Gondrong, Tebet Raya!
Ternyata lebih enak daripada Meatball Spaghetti di Ocean View Cafe!
Dengan demikian, berakhirlah rangkaian catatan perjalanan sepanjang lebih dari 16 ribu kata ini. Sampai ketemu lagi di catatan perjalanan bulan April 2018, Tokyo!
Buntutnya kembali ke selera asal.
Hahaha, banget!
Hahahahahaha… endingnya gak nahan. Sama Gung, situ yang baru beberapa hari jalan udah sakau makanan Indonesia. Gimana aku yang merantau belasan tahun.
Makanya ya, setelah kerja di maskapai penerbangan, dapet jatah terbang gratis, yang pertama kepikiran adalah ke New York. Kenapa New York? Karena di sana buanyakkkk sekali orang Indonesia, sering sekali ada bazar makanan Indonesia, dan banyak restoran Indonesia.
Dibilang ndeso? Biarin.
Kalau kopernya overweight, mbayar berapa Gung?
Wah nggak tau, nggak nanya berapa biaya overweightnya. Yang jelas ya itu, per koper ternyata dipatok maks 32 KG, nggak boleh lebih