Jalan-jalan di kota dengan ancer-ancer rumah paling rumit sedunia, dan mainan spooky yang sebaiknya nggak dipasang di depan rumah saat gelap.
Baca episode pertama rangkaian posting Oriflame Gold Cruise 2017 di sini
Senin 25 September 2017
Setelah berhari-hari hidup di atas kapal, goyangan ringan dan suara lirih mesin kapal jadi bagian dari kondisi “normal”, sehingga kalo dua hal itu hilang malah terasa aneh. Itu yang gue rasakan saat bangun pagi di tanggal 25 September 2017. Nggak ada goyangan, nggak ada suara mesin, maka cuma satu artinya: kapal udah sandar.
Gue mengarah ke balkon dan menemukan pemandangan ini:

Lagi-lagi Oriflame ngasih “kejutan” dengan majang tulisan Oriflame di bukit di atas pelabuhan Kusadasi, Turki!
Yang gue pelajari dari cara Oriflame mengelola perjalanan ini adalah; mereka berusaha lewat berbagai cara untuk membuat para pesertanya merasa diistimewakan. Mulai dari yang bersifat benda yang bisa dinikmati langsung seperti goody bag yang udah menunggu di kamar saat pertama kali check-in, disediain kaca mata gelap waktu baru turun kapal di Mykonos, sampe yang bersifat menimbulkan momen berefek ‘wow’ seperti pesawat pembawa banner saat sail off dan tulisan Oriflame di bukit ini. Sebagai organisasi, Oriflame seakan mau bilang, “Kalian adalah orang-orang terpenting bagi kami, dan kami ingin membuat kalian terkesan.”
Ini mungkin terdengar ‘standar’ banget ya. Tentu aja tenaga penjualan itu penting buat setiap perusahaan, sehingga perusahaan yang ‘waras’ pasti otomatis akan mengistimewakan tenaga-tenaga penjualan terbaiknya, supaya mereka tetap termotivasi berprestasi. Tapi praktiknya, nggak semua perusahaan mampu menerjemahkan prinsip itu ke dalam kebijakan yang senada.
Salah satu contohnya adalah yang dilakukan sebuah bank tempat kerja temen gue. Bank itu memberikan hadiah perjalanan ke luar negeri untuk beberapa orang tenaga penjualan terbaiknya. Apesnya, beberapa waktu sebelum keberangkatan, salah satu pemenang mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cedera cukup serius di kakinya. Dengan kondisi kayak gitu, tentu aja kalo dia memaksakan diri ikut berwisata ke luar negeri, yang ada hanya akan ngerepotin orang dan dia sendiri juga mungkin nggak akan bisa menikmatinya. Dia lantas mengajukan permohonan supaya hadiah itu bisa ditukar dengan bentuk lain, kalau bisa uang tunai. Ternyata, permohonan tersebut ditolak perusahaan, alias hadiahnya, hasil kerja kerasnya berprestasi selama setahun, hangus begitu aja.
Penolakan itu mungkin sekedar untuk mengamankan paket wisata yang udah kadung dipesan agar tidak hangus. Dalam jangka pendek perusahaan ‘diselamatkan’ dari keharusan untuk keluar duit dua kali: satu untuk beli paket wisata yang hangus, dan satu untuk mengganti uang hadiah; tapi di jangka panjang sebenernya rugi besar. Semua orang yang tahu kasus itu akan bertanya-tanya, “Perusahaan nampak nggak serius memberikan penghargaan buat kami, apa kami perlu banget bersungguh-sungguh kerja untuk perusahaan?”
Itu, bisa jadi jadi pertanyaan bernilai jutaan dollar buat perusahaan!
![]()
Sementara itu, gue, yang selama beberapa hari kemarinnya kesenengan bikin kopi susu campur coklat bubuk di Ocean View Cafe, mulai merasakan akibatnya. Walaupun guenya doyan banget minum aneka produk olahan susu, perut gue kurang sependapat. Akibatnya, dia kembung parah dan diare. Padahal sejak kapal sandar di pagi hari ini, penumpang boleh turun dan jalan-jalan bebas sampai jam 12 siang, untuk kemudian kumpul lagi di dermaga dan sama-sama naik bis ke Ephesus. Pikir-pikir, daripada gue nanti batal lihat Ephesus, mendingan pagi ini gue tidur dulu di kamar biar agak sehatan. Alhasil, Ida turun sendirian ke Kusadasi dan jalan-jalan bareng temen-temennya.
Menjelang jam 12 gue merasa lebih baik dan turun bergabung dengan Ida yang udah balik dari jalan-jalannya. Ini pemandangan yang menyambut gue turun dari kapal:
Lagi-lagi, yang bikin penumpang merasa dimanja banget, ada 1 tenda di depan kapal yang menyediakan minuman dingin dan… handuk dingin yang ditaburi es batu!
Gue nggak tau deh, apakah layanan ini standar untuk setiap perjalanan Celebrity Cruise atau sesuatu yang diatur oleh pihak Oriflame.
Rombongan diarahkan untuk naik bis, dikelompokkan berdasarkan asal negara karena dalam bis udah akan tersedia 1 orang tour guide yang berbahasa sesuai asal negara penumpangnya.
Tour guide di bis gue namanya Bilal.

Dia membuka perkenalannya dengan “Nama saya Bilal, umur tiga sembilan, belum ada istri…”
Lha, dia promosi!
Dia cerita bahwa dia belajar bahasa Indonesia di Jogja selama 3 bulan. Nggak heran kalo gue nggak sepenuhnya mudeng dia ngomong apa, karena bahasa Indonesianya masih terpatah-patah dengan logat Turki yang kental banget. Penjelasannya tentang asal usul Ephesus antara lain berbunyi sebagai berikut:
“Ephesus berdiri tahun 10 sebelum masehi… oleh Androclos… dia pergi ke peramal, peramal bilang, pergi cari tempat yang ada ketemu ikan dan babi, lalu dia pergi dan tiba-tiba dia masak ikan dan kaget ada babi, maka dia memutuskan membangun Ephesus di sana…”

Baru belakangan gue googling untuk menemukan cerita sebenernya gimana, dan nemu halaman ini. Yah, lumayan deket lah dengan versi Bilal. Yang jelas kalo gue dikasih waktu 3 bulan untuk belajar bahasa Turki, mungkin nggak akan selancar Bilal ngomong bahasa Indonesia!
Gue nggak terlalu inget berapa lama perjalanan bis dari pelabuhan Kusadasasi ke Ephesus, karena gue campur ketiduran di bis. Yang jelas begitu turun, kami disambut pemandangan yang wow banget!
Jadi Ephesus itu dulunya sejenis kawasan elit gitu. Nggak heran kalo mulai dari bangunan sampe jalanannya semua terbuat dari marmer. Dari segi estetika memang nampak mengesankan, tapi marmer-marmer itu selah ribuan tahun bergesekan dengan tapak kaki orang-orang, jadi licin banget! Gue sarankan buat yang mau berkunjung ke sini, pake sepatu olah raga yang solnya masih gondrong biar nggak kepleset ya.


Untuk ukuran sebuah tempat yang udah ribuan tahun, pernah jadi korban perang, pernah kena gempa juga, daya tahan konstruksinya luar biasa.











Sayangnya, waktu yang tersedia untuk menjelajah situs ini terbatas banget. Padahal kalo diumbar mungkin gue betah seharian di sini, baca-baca papan keterangan yang tersebar di seluruh penjuru.
Kami naik bis lagi ke Kusadasi, dan masih ada waktu sekitar 1 jam sebelum kapal angkat sauh. Maka gue dan Ida jalan-jalan di sekitar pelabuhan.



Sebagai kota pelabuhan yang bakal didatangi turis dari berbagai negara, menurut gue Kusadasi kurang berusaha maksimal menjual diri. Masa sebagian besar toko di sini jualan barang-barang KW, yang secara sangat jujur mereka tulis terang-terangan “Fake Branded Items (bags, watches, etc)”. Maksud gue, mari bandingkan dengan Kuta deh. Di Kuta mungkin toko-tokonya juga kurang variatif karena barang yang dijual rata-rata itu lagi itu lagi (kaos Bali Bintang, ukiran penis, atau batik pantai) tapi setidaknya kan barang-barang itu khas Kuta/Bali. Lha ini, ngapain orang jauh-jauh pergi ke Turki lantas pulangnya bawa Michael Kors KW, gitu loh. Aneh kan.
Mungkin biar bisa punya oleh-oleh khas sendiri, dinas pariwisata Turki perlu kerja sama dengan manajemen kue artis Indonesia seperti Bandung Makuta, Bogor Raincake dan sejenisnya, biar dibikinin bolu berlabel artis Turki sebagai oleh-oleh khas Kusadasi. Sekedar usul loh.
Yang lucu, beberapa kata di bahasa Turki nampak mirip dengan bahasa Indonesia. Entahlah artinya sama juga atau enggak.

Banyak orang jual makanan, tapi berhubung waktu jalan-jalannya cuma tinggal kurang dari 1 jam, kami nggak memutuskan beli. Ngilernya malah pas lewat KFC, yang di Turki dijual bareng saus gravy. Enak!

Sayangnya, KFC Turki nggak jual dada, adanya cuma paha bawah dan fillet.
Menjelang masuk ke kapal, gue menemukan jawaban atas pertanyaan “Ke mana sampah-sampah kapal dibuang?”
Ini dia:

Ada beberapa bak setinggi nyaris 2 meter ini yang diangkut truk, isinya aneka sampah dari kapal. Rada miris ngelihatnya, karena tahu di dalamnya ada cukup banyak makanan masih layak makan yang terpaksa dibuang hanya karena pernah mampir di piring orang yang sekedar asal nyomot tapi nggak dimakan.
![]()
Malam itu, gue dan Ida kembali makan di Opus. resto fine dining di kapal. Jadi selain Ocean View Cafe, ada 2 tempat lagi di mana penumpang bisa makan tanpa perlu bayar biaya tambahan, yaitu Opus yang bertema fine dining di dek bawah, dan Mast Grill di dek atas yang menyediakan aneka burger dan hot dog.
Ida seneng makan di Opus karena nggak harus rebutan tempat maupun makanan dengan Tim Jaket Biru. Makanannya disajikan dalam 3 course meal (appetizer, main course, dan dessert). Di menunya udah tercantum beberapa alternatif untuk setiap mealnya, kita tinggal tunjuk dan duduk manis, makanan dianter.
Malam itu tidur cepet lagi, ngumpulin energi untuk acara puncak besok di Athena: Business Rally!

Tinggalkan Balasan ke OGC 2017: Nonton CEO Keringetan di Business Rally, Athena (10) | (new) Mbot's HQ Batalkan balasan