OGC2017: Jawaban Atas Fenomena Hujan ‘Asam’ (02)

Posting sebelumnya: Dalam rangka persiapan menjelang jalan-jalan Oriflame Gold Cruise, gue berkesempatan duduk semeja dengan komisaris Oriflame Indonesia dan mengajukan sebuah pertanyaan penting.
Kamis, 21 September 2017 Hari libur 1 Muharram. Gue dan Ida masih berkutat dengan 2 koper gede yang akan kami bawa. Sebenernya gue punya rumus andalan untuk menentukan jumlah baju yang harus dibawa menjelang pergi ke luar kota, yaitu:

(Jumlah hari : 2) + 1 , pembulatan ke bawah.

Jadi kalo gue mau pergi seminggu, maka cukup bawa 4 baju. Nanti kekurangannya diatasi dengan 2 cara:
  1. Nyuci sendiri di wastafel
  2. Beli
“Kita kan mau naik kapal. Trus mau jemur di mana?” protes Ida. “Ya kan di depan kamar pasti ada balkonnya.” “Mau, jemurannya terbang ke laut?” Ya udah deh, bawanya banyakan. Lagian ini mau pergi ke negara bermata uang euro, yang satunya setara 16 ribu rupiah. Mau sok-sokan beli di sana juga takut tekor. Setelah serangkaian bongkar muat pilihan baju, akhirnya koper dinyatakan final dan bisa dikunci. Biar kopernya nggak nyasar, panitia membagikan file bertuliskan nama peserta, nama kapal, dan nomer kabin. Perintahnya cuma ‘print dan tempelkan di koper masing-masing’. Tapi Ida punya ide lebih baik, sekalian aja nge-print-nya di kertas stiker.
Berdasarkan informasi dari panitia sih harusnya boarding pesawat jam setengah 12an, tapi jam 7 malem Ida udah ngajak berangkat. Sekitar jam 9 udah sampe bandara, disambut panitia Oriflame yang lagi sibuk bagi-bagi… nasi goreng GM!
Ini satu lagi bukti, betapa detailnya Oriflame kalo nyiapin acara. Yang ikut Oriflame Gold Cruise ini penghasilan bulanannya udah di atas 10 juta semua, pastinya bisa beli nasi goreng sendiri. Tapi tetep aja mereka merasa perlu nyiapin. Luar biasa! Ternyata keputusan untuk datang lebih awal itu tepat karena antriannya cukup banyak. Pertama antri untuk naro bagasi di loket Qatar Airways. Abis itu antri lagi di imigrasi, cek paspor. Trus antri lagi menjelang masuk ke ruang tunggu. O iya, buat yang mau terbang naik Qatar, ada larangan bawa mainan berbaterai lithium, baik di bagasi maupun kabin. Jadi, hoverboardnya ditinggal aja di rumah, ya!
 
Menuju ruang tunggu bandara. Kredit foto: Dyah Sisca
  Sekitar jam setengah 12 malem, akhirnya boarding juga.
  Jumat 22 September 2017 Pesawatnya Boeing 787 Dreamliner yang ujung sayapnya ngetril kayak kelingking kalo megang gelas basah. Gede, jauh lebih gede dari pesawat-pesawat yang biasa gue tumpangin kalo bepergian di dalam negeri (ya iyalah). Udah gitu tiap penumpang dikasih paket berisi toiletries, ada odol dan sikat gigi, tisu basah, dll. Plus ada selimut dan bantal. Bantalnya agak ganggu sih terus terang, karena buat ganjel leher kekecilan dan ganjel punggung kegedean. Ngerepotin. Maap kalo norak, tapi ini bener-bener kali pertama gue pergi ke luar wilayah Indonesia. Paspor gue masih semulus pantat bayi dan selama ini gue suka nggak dipercaya sama temen-temen gue. “Masa sih lu belum pernah ke luar negeri?” “Iya. Tapi gue udah pernah ke Sidareja. Elu pasti belum, kan.” Rencana penerbangan malam ini adalah 9 jam dari Jakarta ke Doha, Qatar, trus transit sekitar 3 jam di sana baru lanjut 6 jam lagi dari Doha ke Roma, Italia. Dan pengalaman terlama gue naik pesawat cuma ke Manado, 3 jam. Huft. Terus terang gue agak senewen harus terbang segitu lamanya. Bukan, gue bukan takut mabok udara atau parno pesawatnya jatuh. Gue cuma bingung, selama itu gue harus NGAPAIN. Sebagai langkah antisipasi, gue bawa buku sampe 4 biji. Ini dua di antaranya: 21762639_10155658365552398_5000766223567363739_o Selain itu gue juga memenuhi laptop dengan berbagai koleksi film yang bisa gue jadiin hiburan saat mati gaya. Pokoknya, bukan cuma kartu SIM-nya yang siap roaming, guenya juga siap mati gaya! Begitu masuk pesawat, ini buku pertama yang gue baca: 21762621_10154867961296367_715196581712680409_o Awalnya enak baca buku, tapi walaupun ada lampu baca, baca di tengah kegelapan gitu rasanya aneh. Plus getaran pesawat bikin huruf di bukunya goyang-goyang, lama-lama bikin mabok. Berikutnya gue coba nonton film. Tapi filmnya nggak ada yang menarik. Trus gue inge dengan cadangan film di laptop. Tapi… tempat duduknya terlalu sempit buat buka laptop, dan di tengah kegelapan kabin itu, cahaya layar laptop bisa ganggu penumpang lain. Di pesawat ada free wi-fi, tapi cuma untuk 15 menit dengan kuota 10 MB. Yaelah, kuota segitu mah nggak sampe 2 menit juga udah abis! Yang bikin keadaan tambah kurang menguntungkan adalah, pesawat terbang ke barat, menjauhi gerakan matahari. Jadi selama penerbangan ketemunya langit gelap terus, nggak ada pemandangan! Gue coba tidur, tapi… mana enak sih tidur sambil duduk. Akhirnya gue menemukan satu kegiatan yang agak menarik. Jadi sebelum berangkat gue nemu sebuah artikel yang bilang, kondisi udara di dalam pesawat sangat kering. Tingkat kelembabannya hanya 10-15%, tiga kali lebih kering dari gurun Sahara. Dalam 10 jam penerbangan, seseorang bisa kehilangan 2 liter cairan tubuh. Dan gue akan ada di pesawat selama 14 jam, gawat! Solusinya, gue mengisi waktu luang dengan minta minum. Jadi selama 6 jam penerbangan ini, penumpang dikasih makan berat 2 kali dan snack 1 kali. Berhubung ini Qatar Airways yang menjelang take off aja baca doa Islam dulu, semua makanannya halal tapi untuk minumannya tetep aja sedia wine. Di luar jadwal makan, pramugarinya sering lewat nawarin minum, dan gue selalu mau. Dan selalu ambil dua gelas. Mungkin kalo di artikel disebut bisa kehilangan 2 liter cairan, gue malah surplus sekitar 1 liter lah. Akibatnya jelas: beser. Satu lagi pengalaman baru buat gue: make toilet pesawat. Ya karena selama ini paling lama terbang cuma 3 jam, ngapain juga pake toilet, kan? Gue pikir-pikir, toilet pesawat itu pada dasarnya kebalikannya kulkas. Kulkas kan kalo pintunya dibuka, lampunya nyala. Nah, toilet pesawat itu lampunya baru nyala kalo pintunya ditutup. Tapi di sisi lain, ada juga persamaan antara toilet pesawat dan kulkas, yaitu dari segi ukurannya. Sempit banget! Ajaibnya, kloset di pesawat itu sama sekali kering. Kalo kloset biasa kan selalu ada air menggenang di dasarnya, ya kan? Nah, ini enggak. Mungkin, ini mungkin lho ya, untuk menghindarkan para pramugari dari harus ngosek toilet setiap kali abis terjadi turbulensi… if you know what I mean. Nah, yang menarik dari kloset kering itu adalah, tiap kali kita mencet tombol flush, nggak ada air yang mengguyur. Yang ada hanyalah suara tekanan angin yang sangat kencang, ZZZZZAP, dan lenyaplah benda apapun yang baru aja kita letakkan dalam kloset tersebut. Ini bikin gue bertanya-tanya. Pesawatnya terbang di ketinggian 40 ribu kaki alias lebih dari 12 KM di atas permukaan tanah. Kalo misalnya pesawat itu terbang sambil menumpahkan cairan, cairannya mungkin sampai ke bumi dalam bentuk tetesan kecil-kecil seperti hujan. Gue nggak nuduh apa-apa, tapi lain kalo lu merasa ketetesan sesuatu dari langit, yang rasanya seperti hujan tapi kok agak ‘asam’ gitu,  cek deh, jangan-jangan ada pesawat abis lewat… Akhirnya, setelah 9 jam terbang, sampe juga di Doha.
Jam biologis gue bener-bener kacau ini pasti. Berangkat jam 12 malem, terbang 9 jam, eh, sampe di Doha, baru jam 5 pagi. Mungkin kalo organ-organ tubuh gue bisa ngobrol, akan terjadi dialog kayak gini: “Bro, bangun bro, udah mau subuh ini.” “Subuh? Lha jam segini bukannya biasanya kita lagi ngetik di kantor?” Berhubung letaknya di tanah gersang, jam 5 pagi di Doha suhunya 30 derajat C, kayak jam 9 pagi di Jakarta.
Bandaranya bagus, mirip mall dengan toko-toko yang buka 24 jam. Di tengahnya ada boneka teddy bear raksasa yang jadi ikon bandara Hamad ini.
Patung perunggu setinggi 7 meter ini dibuat oleh seniman bernama Urs Fischer antara tahun 2005-2006. Sebelum ada di Doha, patung ini ada di New York, entah gimana cara mindahinnya (sumber). Waktu transit di Doha diisi dengan sholat subuh, liat2 toko, dan… antri lagi. Masuk pesawat lagi, kali ini ‘hanya’ 6 jam dari Doha ke Roma dan…
…sampe! Yang menarik dari bandara ini adalah, gue nemu meja lipet buat ganti popok bayi di toilet pria.
Rupanya di sana banyak bapak-bapak yang bepergian cuma sama balitanya, sehingga pengelola bandara merasa perlu untuk nyediain fasilitas ini di toilet pria. Antrian imigrasinya luar biasa panjangnya, mungkin karena di saat bersamaan mendarat beberapa pesawat. Tapi yang bikin gue prihatin adalah; di deket antrian imigrasi itu terpampang bendera-bendera negara yang bebas visa, dan nggak ada bendera Indonesia. Yang lebih nyebelin, negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, bahkan Timor Timur yang baru kemarin sore merdeka malah ada! Paspor Indonesia, bareng dengan Filipina dan UGANDA (ya, negara yang pemimpinnya konon pernah makan orang itu) ada di peringkat 65 dari 92 negara menurut situs Passport Index. Sebaliknya, Indonesia adalah negara paling “ramah” ke-16 di dunia, karena membebaskan visa untuk 169 negara (sumber). Dari lokasi turun pesawat di bandara Leonardo Davinci Roma menuju ke pintu keluarnya, penumpang naik skytrain tak berawak. Tapi gue nggak minder ngelihatnya karena tau di bandara Soetta juga udah ada kan. Di pintu keluar bandara lagi-lagi tim Oriflame udah siap menyambut dan mengarahkan peserta naik ke bis. Masih ada 45 menit perjalanan lagi yang harus ditempuh sebelum sampai ke pelabuhan dan naik ke kapal Celebrity Reflection menuju Yunani dan Turki. [Bersambung]  

11 comments


  1. Selama baca aku 2 kali googling. Pertama hoverboard, kedua Sidareja. Oke Oce.

    Sebetulnya kalau penerbangan lama itu dan ngerasa bosen udah paling bener dangdutan mas. Yang lain terhibur (dengan risiko ditimpukin boneka teddy bear yang SEREM itu oleh beberapa orang).

    Ditunggu kelanjutannya ya mas Agung.


  2. Ngakak pas di bagian hujan rintik rintik rasa asem.
    Itu pertanyaan serius Gung? Atau becandaan?
    Aku kerja di airlines, jadi tahu jawabannya. Tapi ogah ngejawab kalau ternyata bercanda, kan aku jadi cegek. Isin rek.


    1. O iya ya.
      Kalau di bis, rasa rasanya gak ada tangki pembuangan ya, jadi pas pipis, air pipisnya ngocor ke bawah bis. Gimana kalau buang air besar? Jijay mbayanginnya.
      Nah kalau kereta api, dulu kayak gitu, ngocor di bawah kereta dan jatuh di rel kereta api. Itu makanya ada larangan dilarang buang air waktu kereta lagi brenti, ntar stasiunnya bau pesing. Entah sekarang gimana.

      Kalau pesawat beda lagi. Ada tangki air bersih (buat minum) dan tangki air kotor (toilet). Khusus buat di bowl toilet, dikasih blue juice (bahan kimia). Saat penumpang selesai menggunakan toilet (kalau di pesawat istilahnya lavatory), entah buang air kecil atau air besar, kotorannya disedot, abis itu blue juicenya keluar buat ngebersihin bowlnya, dan siap digunakan untuk selanjutnya.

      Kapan ngosongin tangkinya? Nanti pada saat pesawat di darat. Apa bisa tangkinya dikosongkan pada saat peswat masih terbang? Ndak bisa, karena pintu tangki dan katup pipanya berada di luar badan pesawat, dan dioperasikan oleh para ground crews.

      Jadi gak ada ceritanya hujan rasa asem, kecuali kalau pipa tangki pembuangannya bocor. Kalau bocor, pesawatnya gak boleh terbang. Kudu dibenerin dulu, baru boleh terbang.

      Begono kurang lebihnya.

Tinggalkan Balasan