Kalo elu adalah seorang ABG, sumber kebanggaan lu mungkin adalah handphone paling ‘gawl’, baju / sepatu / aksesori paling ngetrend, atau punya pacar ngetop.
Kalo elu seorang pegawai kantoran, sumber kebanggaan lu mungkin adalah kantor yang di daerah strategis, fasilitas mobil dinas, dan jabatan yang terdengar penting.
Kalo elu adalah seorang ibu-ibu usia 60 tahun ke atas, sumber kebanggaan lu adalah 2 hal, yang pertama adalah penyakit.
Coba deh sekali-sekali anterin seorang ibu-ibu usia segitu ke dokter. Maka dalam hitungan menit di antara para calon pasien akan mulai terdengar dialog berikut:
“Sakit apa bu?”
“Ini lho, lutut saya kok kalo pagi suka kaku, nggak bisa ditekuk…”
“Wuaaah…. kalo gitu kalah sama saya, ini lutut saya SELALU susah ditekuk, mau pagi, siang, malam…”
“Tapi tangan kiri saya juga suka kaku”
“HAH. Kalo saya dua-duanya, kanan sama kiri.”
Nampaknya di kalangan ibu-ibu sepuh, semakin tinggi tingkat keparahan suatu penyakit, semakin bersinar pamor senioritasnya.
“Kolesterol saya 350…”
“Masih mending cuma segitu. Saya 400 lebih. Kepala sampe pusiiiing sekali rasanya.”
“Tapi gula saya juga tinggi.”
“Nah, kalo saya masih ditambah asam urat.”
Gue rasa akan seru kalo obrolan penyakit ibu-ibu ‘senior’ diangkat dalam kuis televisi, dengan MC Coky Sitohang yang tongkrongannya cocok jadi calon menantu idaman para ibu. Nama acaranya “Who Wants to be a Patient”.
“Pemirsa, selamat datang di episode pertama ‘Who Wants to be a Patient’ bersama saya, Coky Sitohang. Di sudut merah kita sambut Ibu Endang… selamat malam Ibu, sakit apa?”
“Leher saya kaku, nggak bisa noleh ke kanan.”
“Kasihan sekali ibu. Dan di sudut biru kita sambut Ibu Susi…”
“Leher saya kaku juga, nggak bisa noleh ke kanan DAN ke kiri.”
“Sabar dulu ibu, permainan belum dimulai.”
“Tapi memang bener, leher saya kaku. Saya cuma bisa ngangguk, nggak bisa geleng. Bayangin gimana perasaan saya waktu ikut cucu jalan-jalan ke dufan dan tau-tau dia nanya, ‘nenek, kita naik ontang-anting yuk! Mau nggak?”
“Tapi kaki saya rematik,” sergah Ibu Endang
“Rematik? Huh. Saya pengeroposan tulang, Bu!”
“Liver saya nyaris ambrol!”
“Ginjal saya kiwir-kiwir!”
…dan seterusnya.
Kalo materi penyakit udah dibahas tuntas, atau kebetulan ketemu lawan yang penyakitnya lebih ‘sadis’, maka permainan favorit lainnya adalah ‘cucu‘.
Seperti yang terjadi pada ibu gue semalem. Dianter kakak gue, ibu berkunjung ke dokter langganannya dan berkenalan dengan seorang ibu-ibu lainnya yang nampak sebaya. Obrolan tentang penyakit nampak kurang berkembang, maka topik beralih ke soal cucu.
“Cucunya sudah berapa, bu?” tanya ibu itu.
“Tujuh. Banyak ya?” jawab ibu gue bangga.
“Oh. Masih kalah sama saya. Cucu saya ‘sekian’” jawab ibu itu sambil menyebutkan sebuah angka yang jauh lebih besar dari tujuh. ‘
Ibu gue terdiam sejenak, nampak sulit menerima kekalahan yang begitu telak. Tapi kemudian, masih dalam rangka mempertahankan posisi, ibu berkata penuh nada optimis, “tapi anak saya yang paling kecil itu masih muda. Anaknya juga baru satu. Saya yakin cucu saya masih bisa nambah lagi, mungkin ke depannya bisa delapan atau sembilan…!”
Gara-gara persaingan orang tua di ruang tunggu dokter, anak ketempuhan harus beranak banyak…

Ada komentar?