Sebuah usulan bodoh untuk dunia pendidikan Indonesia

Beberapa hari yang lalu, gue nguping pembicaraan dua orang di lift tentang pusingnya mendaftarkan anak di sekolah ‘unggulan’. Berdasarkan obrolan kedua orang ini, gue berkesimpulan bahwa peringkat sekolah ditentukan oleh nilai rata-rata lulusannya. Itulah sebabnya sekolah-sekolah unggulan mensyaratkan nilai minimal yang tinggi dari para calon siswanya, tentunya dengan harapan agar mereka juga akan lulus dari sekolah itu dengan nilai yang tinggi sehingga bisa mendongkrak peringkat sekolah. Ini kalo nggak salah lho, namanya juga hasil nguping.

Kalo menurut gue, praktek seperti ini justru mulai melenceng dari esensi fungsi sekolah itu sendiri. Yang namanya sekolah kan tempat belajar,maka logikanya sekolah dinilai bagus atau jelek dari keberhasilannya membuat para muridnya menjadi lebih pinter. Kalo sebuah sekolah dimasuki murid-murid yang nilai rata-ratanya 9, lalu murid-murid tersebut lulus dari sana dengan nilai rata-rata 9, itu sih bukan berarti sekolahnya yang hebat, tapi emang murid-muridnya yang pinter!

Sekarang coba gue tanya kepada kalian semua yang kebetulan punya pengalaman mengajar, baik mengajar di depan kelas, atau sekedar ngajarin adik bikin PR: mana yang lebih sulit dan butuh upaya lebih besar: ngajarin anak yang emang dari sononya udah pinter, atau ngajarin anak lemot yang saat diterangin mulutnya bisa dijadiin pot taneman hias saking lebar nganganya? Pastinya anak-anak lemot butuh upaya dan keahlian yang lebih besar dari gurunya, kan? Lantas kenapa sekolah-sekolah yang cuma menerima murid-murid pinter dapet peringkat lebih bergengsi, sementara upaya yang mereka keluarkan untuk mendidik anak-anak pinter ini jauh lebih sedikit?

Entah kenapa, tiba-tiba gue teringat pada progam sales contest di kantor gue. Sebagaimana umumnya sales contest, kriteria pemenang “Best Sales Performance” adalah kantor cabang yang bisa menjual paling banyak. Tapi selain itu juga ada kriteria “Best Sales Improvement” buat kantor cabang yang peningkatan penjualannya terbesar, walaupun mungkin belum mencapai angka penjualan terbesar. Misalnya gini: kantor cabang A, tahun lalu punya nilai penjualan 85 juta dan tahun ini 100 juta, sedangkan kantor cabang B tahun lalu hanya menjual senilai 20 juta tapi tahun ini berhasil menjual 75 juta. Dengan demikian, kantor cabang A memenangkan penghargaan “Best Sales Performance”, dan kantor cabang B memenangkan penghargaan “Best Sales Improvement”. Tujuan diadakannya kriteria “Best Sales Improvement” ini adalah untuk memotivasi kantor-kantor cabang yang baru buka. Dari segi total nilai penjualan jelas mereka akan kalah dibanding kantor-kantor cabang lain yang udah lebih lamaan bukanya, karena namanya juga kantor cabang baru, customernya juga pasti belum banyak. Kriteria “Best Sales Improvement” memungkinkan mereka untuk berkompetisi secara lebih adil dengan kantor cabang lainnya, baik yang udah lama maupun yang baru buka.

Nah, usul gue, gimana kalo peringkat sekolah juga dihitung dengan cara yang sama, yaitu mempertimbangkan nilai rata-rata kelulusan DAN peningkatan nilai murid-muridnya saat baru masuk dan setelah lulus.Maksudnya, yang menentukan peringkat sebuah sekolah bukan cuma rata-rata nilai para lulusannya tapi juga seberapa banyak murid-murid itu mengalami perbaikan nilai. Dengan demikian SMA A yang menerima siswa dengan nilai rata-rata 7 dan berhasil mencetak lulusan dengan nilai rata-rata 9, seharusnya punya peringkat lebih tinggi daripada SMA B yang menerima murid dengan nilai rata-rata 8,6 dan mencetak lulusan dengan nilai rata-rata 9,2.

Seandainya cara perhitungan peringkat seperti ini diterapkan, maka sekolah-sekolah unggulan nggak akan lagi jor-joran menetapkan nilai minimal setinggi langit, karena kalo mereka cuma menerima murid dengan nilai rata-rata 9,9 mau ditingkatin jadi berapa lagi? Sebaliknya, sekolah-sekolah yang selama ini dinilai ‘under dog’ punya kesempatan unjuk gigi dan membuktikan bahwa mereka sebenarnya telah bekerja lebih keras untuk meningkatkan nilai para siswanya.

Gimana menurut kalian, setuju dengan usulan gue?

40 comments


  1. setujuu…. dengan demikian seluruh sekolah akan punya peluang yang sama untuk maju dan diperhatikan pemerentah.selama ini cuman sekolah unggulan doang yang dapet guru2 yang lumayan kualitasnya trus fasilitas pendidikan juga lebih. Ya terang aja mereka tetep nomor 1!


  2. coba ngulik2 di om google tentang pendidikan di finlandia, om agungsetau gw disana sudah menerapkan seperti itu, buat mereka rata2 nilai kelulusan ga beda jauh dengan nilai tertinggi & terendah, dan hampir berlaku di semua sekolah.. bukan hanya rata2 1 sekolah sajaitu kenapa kl ga salah finland jd “the best” pendidikannya.. dan guru2nya digaji sangat mahal.di Indonesia calon mahasiswa berbondong2 berebut masuk ke UI ato sejenisnya, di sana mereka berbondong2 masuk universitas pendidikan, sperti UNJ.. 🙂


  3. jangan2 ntar bisa jadi ada praktek “salam tempel” gt pak..apabila ada siswa yg kurang pandai namun orang tuanya cukup mapan sehingga sekolah manapun bisa aja dimasukkinnya..:)Tapi sarannya keren kuq..5 taon lg daftar jd caleg div.pendidikan ajah pak..hehehe..:))


  4. kalu SD seingatku dulu ada mas kategorinyaSD Center = sekolah yang memiliki prestasi di segala bidangSD Percontohan = sekolah yang menerima murid lebih dari 50 % tidak bisa baca tulis tapi dengan hasil kelulusan yang diatas rata-rata. juga dinilai tingkat naik dan turunnya jumlah murid.dan ekhm…bukan usulan bodoh, kok 🙂


  5. myshant said: dari hasil sharing dengan ibu2 yg anaknya masih SD niy, kalau punya anak pengen dimasukin UGM harus “diprogramnya” dari tingkat SD. karena kesempatan masuk UGM lebih jika anak lulusan SMA 8, dan untuk masuk SMA 8 kesempatan paling bagus jika sebelumnya anak masuk SMP 5, dan untuk masuk SMP 5 harus masuk ke SD A,B, C dst.

    It’s totally horrible!PRIHATIN! Pendidikan sudah menjadi barang dagangan, pendidikan sudah menjadi INDUSTRI!


  6. benar Gung, ngajarin murid lemot lebih berat dibandingkan dengan mengajar murid yg pintar/IQ tinggi, apa lagi kalau murid pintar ini sudah “les pelajaran” diluar sekolah. Gurunya ongkang2 kaki :DCuma, dalam mengajar murid pintar butuh diperhatikan hal lain juga, misal, supaya murid tidak bosan, atau tidak menganggap gurunya bodoh


  7. Ini perlu digabung ama usul Indonesia Anonymus, Gung, berdasarkan pengamatan mereka bahwa ada satu perbedaan antara negara yang sistem pendidikannya dianggap berhasil dan tidak. Dan ini berlaku di negara maju. Satu perbedaan ini bukanlah masalah uang. Melainkan gengsi. Di negara-negara yang sistem pendidikannya dianggap “berhasil”, menjadi guru merupakan gengsi. Seleksinya ketat, selain dari penghargaannya pun sepadan. Dengan begitu, para pendidik pun menganggap tugas mereka sebagai peran yang bergengsi. Bukan sekadar menyampaikan kurikulum sebanyak-banyaknya, misalnya.


  8. sebenernya sih itu murni bisnis utk mengecoh orangtua (intuisi gw)yg dijual oleh skolah unggulan :1. temen2 anak Anda orangnya pintar2, jadi apabila anak anda tidak pintar tetapi anda kaya, dengan masuk skolah ini, (mudah2an) anak anda jadi pintar karena berteman dgn org2 pintar dan income sekolah juga naik dong,secara anda diharuskan membayar mahal.2. kalau anak anda memang dari sononya pintar & mudah masuk skolah unggulan dgn biaya murah, ya itu taktik bisnis juga, karena diharapkan anak anda bisa berteman dengan anak2 yang (kurang) pintar (tetapi orangtuanya kaya) dan menjadikan mereka ikut pintar seperti anak anda


  9. bedanya pendidikan jaman dulu .. n skarang.dulu … siswa dididik utk sesuatu yang udah ditentukan di depan (mewarisi bisnis kluarga, jd montir bengkel si anu .. dll)klo skarang … (harusnya) mendidik siswa untuk pekerjaan yang ga tau apaan didpan nti. Intinya sih, meningkatkan daya kreativitas dan survival anak di kemudian hari.soal pendidikan Indonesia … sumprit gue dah enegh! .. klo makin kedepan ga da perkembangan … home schooling aja deh. Karena yang bisa bikin anak nti berhasil di depan itu bukan NILAI di sekolah! tapi bagai mana dia bisa mengaplikasikan apa yang dia dapat di sekolah dalam kehidupan sehari-harinya nanti.”Trus gimana bisa dapet kerja klo ga punya ijasah??” Emangnya… kerja harus kerja sama orang? bisa wirausaha kan? .. bisa nggaji diri sendiri kan? .. klo emang punya kemauan dan kemampuan yang DIDIDIK DARI KECIL … knapa nggak? … (*jd curhat … maap yak Mas Agung..


  10. setuju!!!!!dengan sistem yg sekarang bakal membuat:yg pinter makin/tetep pinter yg lemot semakin lemotkarena udah kalah duluan bahkan sebelum mulai belajar di sekolahnya yg baru akan dimasuki.*dgnprejudicedsb*


  11. ailtje said: kalau ada sistem seperti itu, apalagi ada reward untuk guru yang bisa mengajarin murid bodo jadi pinter. Pada berebut pastinya.

    ya, sebaiknya kita juga mereward prosesnya, bukan cuma hasil akhirnya. hasil akhir berupa angka merupakan hasil dari berbagai unsur, mulai dari kapasitas mental si anak, stimulasi dari guru, sampe dukungan orangtua.


  12. lancangkuning said: yang pintar makin pintar, yang bodoh makin bodoh :p

    iya, itu dia poin yang ingin gue sampaikan di sini, bahwa anak-anak dengan nilai rendah justru seharusnya diprioritaskan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas, krn effort yang harus dikeluarkan untuk mendidik mereka juga lebih besar.


  13. mymindlessworld said: ku juga g setuju adanya kelas unggulan di dalam 1 sekolah. Jadi hasil anak dirangking . Kelas A isinya anak pinter mulu, Kelas B anaknya rada pinter, dst sampai kelas F anak2 belum pinter (bukan ndak pinter loh).

    untuk soal ini memang masih jadi kontroversi di kalangan psikolog pendidikan. pandangan yang pro bilang bahwa dengan membuat kelas homogen (anak dikelompokkan berdasarkan kemampuan mentalnya) maka stimulasi yang diberikan bisa disesuaikan dengan takaran kemampuan mental anak2 tsb. anak yang sangat pintardigabung di kelas anak2 biasa bisa merasa bosan karena pelajaran yang katakanlah diberikan dalam waktu 1 jam bisa dipahaminya dalam tempo 15 menit saja. Sisa waktunya dia cuma bengong, atau bisa2 mengganggu teman2nya yang belum selesai belajar.


  14. myshant said: kalau punya anak pengen dimasukin UGM harus “diprogramnya” dari tingkat SD. karena kesempatan masuk UGM lebih jika anak lulusan SMA 8, dan untuk masuk SMA 8 kesempatan paling bagus jika sebelumnya anak masuk SMP 5, dan untuk masuk SMP 5 harus masuk ke SD A,B, C dst.

    Ya ampun, baru untuk masuk UGM aja harus diprogram sejak SD… gimana kalo mau masuk Harvard yak?Suka ngeri dengerin obrolan ibu2 tentang pendidikan anak, nggak kebayang persaingan macam apa yang harus dihadapi rafi 10-15 tahun yang akan datang


  15. happywithavis said: setujuu….kasian yg nilenya pas2an jadi kedesek terus ke sekolah standar rendah gara2 nile atas yang makin naik naik dan naik.yang gak keterima di SMA1….brurrrr lari semua ke SMA2….gak keterima lagi…brurrr…lari ke SMA3…lah yang dah pas-pasan daftar duluan lari kemana dunklari di tempat ja ah^_^

    dan dari pihak para pengelola sekolah non-unggulan juga makin tipis peluangnya untuk meningkatkan peringkat krn dapet murid sisa terus…


  16. ratu165 said: Ini yg paling gw tentang. Liat murid cuma dari nilai. Padahal sekarang ini udah diketahui bahwa kecerdasan setiap anak itu beda-beda bukan hanya IQ.

    Idealnya memang gitu. Masalah pengukuran kemampuan mental manusia memang selalu jadi tantangan karena bentuknya yang abstrak dan kondisinya yang nggak selalu berbanding lurus dengan penghitungan numerik.Masalahnya, kompetisi di dunia kerja masih sangat mengandalkan pada nilai sekolah, khususnya buat mereka yang baru lulus.Jadi yah, pilihannya adalah membuat anak-anak kita terjun berkompetisi mendapat nilai bergengsi dari sekolah bergengsi, atau sejak dini mendidik mereka untuk jadi wirausahawan 🙂 Terus terang gue dan ida sedang berpikir ke arah sana sih untuk Rafi.


  17. anzarra said: krn target mereka untuk improvement adalah gap nilai yg besar, maka ada kemungkinan si sekolah unggulan mendahulukan siswa yg nilainya rendah untuk masuk.

    yang gue usulkan adalah gabungan keduanya An, jadi baik nilai rata-rata kelulusan DAN peningkatan nilai dijadikan pertimbangan (ceileh seolah-olah beneran ada pihak berwenang yang akan denger usulan ini). Jadi gini:Gue mengusulkan dilakukan pembobotan, katakanlah 50%-50% antara nilai kelulusan dan besaran improvement. Untuk yang nilai kelulusan, dihitung langsung berdasarkan bobotnya, sedangkan besaran improvement diconvert dulu secara statistik ke dalam norma distribusi skala 0-10. Metodenya sama aja seperti menentukan nilai ulangan: ketahui nilai maksimal, ketahui nilai minimal,mean dan standar deviasi, maka bisa dihitung perubahan dari angka aktual improvement nilai ke dalam skala 0 – 10. SMA A menerima lulusan SMP dengan rata-rata nilai 8,9 dan meluluskan siswa dengan rata-rata nilai 9,4. Terjadi improvement 0,5 point, yang dalam norma distribusi nilainya setara dengan, katakanlah, 6. Maka, skor yang didapat SMA A adalah (50% x 9,4) + (50% X 6) = 4,7 + 3 = 7,7.SMA B menerima lulusan SMP dengan nilai rata-rata 6,2 dan meluluskan siswa dengan rata-rata nilai 7,5. Terdapat improvement 1,3 yang setara dengan katakanlah nilai norma 8, maka skor akhirnya adalah (50% x 7,5) + (50% x 8) = 3,75 + 4 = 7,75.Dari contoh soal ini, poin SMA B bisa mengungguli SMA A walaupun dari segi rata-rata nilai kelulusan kalah jauh. Tapi tetep aja, kalo SMA A lantas menurunkan batas minimal penerimaan dan terlalu banyak memasukkan siswa dengan nilai rendah, resikonya dia akan kehilangan 50% poinnya. Jadi baik nilai rata-rata kelulusan maupun improvement nilai sama-sama diperhitungkan, sehingga kalo menurut perhitungan gue sih nggak akan terjadi obral besar-besaran dari para SMA unggulan dengan menerima hanya siswa-siswa nilai rendah doang dan malah siswa nilai bagus gak kebagian sekolah. Satu hal lagi, yang dijadikan acuan di sini kan nilai ujian nasional An, yang secara teoritis di luar jangkauan rekayasa dari pihak sekolah. (Secara teoritis lho ini…. hehehe).


  18. dinamars said: iya setuju, Mas :). sebaiknya juga yang dipentingin & dibanggain gak hanya pelajaran eksak aja, klo ada murid2nya yg berprestasi di bidang olahraga, kesenian & bahasa perlu diperhitungkan untuk peningkatan mutu sekolah.

    ya, mungkin ada baiknya peringkat sebuah sekolah juga ditentukan dari seberapa banyak kegiatan ekstra kurikulernya memenangkan lomba 🙂


  19. anzarra said: soal nilai minimal, termasuk juga kelulusan UAN, yg gue tahu karena kita ngejar standar nilai pendidikan dunia, dimana kita ngos-ngosan dibanding tetangga singapur atau malaysia. memang 5 anak menang olimpiade fisika, tp ribuan anak yg lain tinggal kelas. dg standar nilai minimal, anak yg pinter tetap berusaha pinter. yang gak pinter mau gak mau ngejer, dan akibatnya yg ngejer ini bakal jadi anak pinter juga. sehingga makin banyak anak pinter.

    akur deh an… harus diginiin biar pada pinter semua


  20. Mas setuju banget! Saya jadi keingetan guru fisika saya di SMA, gara-gara bekas guru di sekolah paling top se malang, dipindah ke sekolah saya yang muridnya lemot. Alhasil, muridnya disiksain, dipukul pakai penggaris, yang kepala di dorong2 *saya nih korbannya* bahkan ada yang disuruh pindah sekolah.kalau ada sistem seperti itu, apalagi ada reward untuk guru yang bisa mengajarin murid bodo jadi pinter. Pada berebut pastinya.Lagian di sini sistem pendidikannya berat banget, semua kudu di apalin.


  21. hihihi… memang ribet banget pendidikan di negeri ini..FYI, untuk sekolah yang dikatakan unggulan itu biasanya udah berstandar nasional, bahkan internasional. ga jelas apa yang distandarkan. itu belum lagi sekolah yang berambisius untuk mendapatkan sertifikat ISO.. kadang gemas juga lihat sekolah unggulan yang berstandar ini itu, sertifikat ini itu, plus fasilitas lengkap, hanya menerima murid dengan nilai setinggi langit. sedangkan sekolah “kelas bawah” harus rela menerima siswa yang merupakan “sisa” dari sekolah unggulan itu dengan fasilitas seadanyayang pintar makin pintar, yang bodoh makin bodoh :p


  22. ku juga g setuju adanya kelas unggulan di dalam 1 sekolah. Jadi hasil anak dirangking . Kelas A isinya anak pinter mulu, Kelas B anaknya rada pinter, dst sampai kelas F anak2 belum pinter (bukan ndak pinter loh). Alasan klasifikasi kelas ini agar guru pengajar lebih mudah dalam metode pengajaran. kelas pinter lebih cepet jadi g ada yang ketinggalan, kelas F lebih lambat. Tapi kok aku tetep ndak sreg ya. pertama terlihat banget kesenjangan kemampuan yang bikin anak F minder.Malah dulu aku jaman SMA kelasku ditata ada anak puinterrrrr banget, sedang-sedang n belum pinter. Itu lebih memotivasi anak belum pinter buat lebih pinter loh. mo minta ajarin juga deket, sebelah bangku doang. akhirnya hampir 100% temen2ku ketrima di PTN favorit semua. huebat kan?


  23. Kalo sebuah sekolah dimasuki murid-murid yang nilai rata-ratanya 9, lalu murid-murid tersebut lulus dari sana dengan nilai rata-rata 9, itu sih bukan berarti sekolahnya yang hebat, tapi emang murid-muridnya yang pinter!———-Betuul sekali…………. enak buanget tuuh sekolah dan guru ya. nggak usah2x ngajarnya… hehehheeh


  24. setuju sama usulannya Gungkarena skrg ini masalahnya Gung, di sekolah yg bukan unggulan, kebanyakan fasilitas dan tenaga pengajarnya gak bisa “ngejar” untuk menghasilkan anak yg bisa masuk ke jenjang sekolah berikutnya yg berkualitas bagusjadi contohnya gini, dari hasil sharing dengan ibu2 yg anaknya masih SD niy, kalau punya anak pengen dimasukin UGM harus “diprogramnya” dari tingkat SD. karena kesempatan masuk UGM lebih jika anak lulusan SMA 8, dan untuk masuk SMA 8 kesempatan paling bagus jika sebelumnya anak masuk SMP 5, dan untuk masuk SMP 5 harus masuk ke SD A,B, C dst.ribet ya bo’ …pdhl aku kmrn nyari SD pertimbangannya adalah nyari SD yg gak banyak PR, yg gak cuma lihat nilai yg diwakili angka, gak pake’ upacara, ada ngajinya. entahlah …ntar mau masuk SMP unggulan atau enggak, masih ada waktu 2thn untuk mikir 😀


  25. Benr tuh Mas, harusnya peringkat sekolah itu memang harus lebih objektif, harus dilihat tingkat Improvementnya juga, biar ada geliat untuk terus mengembangkan tingkat kualitas ngajarnya dan anak2 dari sekolah manapun tidak lagi ada rasa minder2an Yang ada malah semangat meningkatkan mutu sekolah.


  26. setujuu….kasian yg nilenya pas2an jadi kedesek terus ke sekolah standar rendah gara2 nile atas yang makin naik naik dan naik.yang gak keterima di SMA1….brurrrr lari semua ke SMA2….gak keterima lagi…brurrr…lari ke SMA3…lah yang dah pas-pasan daftar duluan lari kemana dunklari di tempat ja ah^_^


  27. gue gag punya pengalaman ngajar [ngajar cuma buat salah satu mata kuliah doang]… tapi gue adalah ibu yang sampe hari ini pusiiing, kenapa peraturan untuk pendidikan berubah-ubah terus…. gue pusing setengah mati, pas buka website sekolah2 yg bertaraf internasional mengajukan syarat yg aneh2 untuk masuk ke sekolah mereka…hiks anak umur 6 taun syarat masuknya kayak mau masuk D3 jaman gue dulu :Daaaaaaaaah.. jadi curhat entar


  28. Ini yg paling gw tentang. Liat murid cuma dari nilai. Padahal sekarang ini udah diketahui bahwa kecerdasan setiap anak itu beda-beda bukan hanya IQ. Nilai2 itu hanya menunjukkan IQ padahal banyak yg lainya. Gue lebih seneng nyekolahin anak di sekolah yg gak mikirin anak nilai berapa, gak ada gak naik kelas, gak banyak PR untuk anak2 tingkat SD nya, digabung antara anak spesial need dan normal. Daaaannnn free of bullying. Gak ada kata2 keras, gak ada melotot, gak ada hukuman fisik.Betul banget klo udah netapin nilai tinggi itu bukan berarti sekolah unggulan. Sekolah unggulan adalah sekolah yg bisa menjadikan semua anaknya adalah bintang: yg jago nyanyi bisa pede di depan panggung, yg jago bola, pede dengan keahlian gocek bolanya, jago matematika jadi tambah jago dst. Semuanya dihargai.Jadi gue gak pernah peduli dengan nilai anak2. Gue cuma nekanin bahwa kalo dia udah melakukan yg terbaik ya udah. Guwe tetap bangga sama dia. Apapun yg dia dapat dari hasil kerja kerasnya.


  29. ide yg benar sih, gung. cuman, ini kita ngomong ekstrim-nya ya. mungkin terjadi, apalagi di indonesia. krn target mereka untuk improvement adalah gap nilai yg besar, maka ada kemungkinan si sekolah unggulan mendahulukan siswa yg nilainya rendah untuk masuk. bahkan serendah mungkin. anggaplah rata2 yg masuk nilainya 5,5. itu membuka peluang mereka jd sekolah unggulan, dengan meluluskan si nilai rendah ini dengan 8 aja, dia udah menang dr yg nerima siswa rata2 nilai 7 yg lulus dgn nilai 9.imbas ke muridnya, jadi gak ada tantangan. malah mereka jadi males2an, toh justru yg nilainya rendah yg peluangnya besar buat masuk sekolah unggulan. yg kasian yang nilainya emang bagus, jadi gak didahulukan. bisa2 anak pinter jadi kesulitan cari sekolah, meskipun ini realistis : kalo udah pinter, ngapain sekolah? :Dsoal nilai minimal, termasuk juga kelulusan UAN, yg gue tahu karena kita ngejar standar nilai pendidikan dunia, dimana kita ngos-ngosan dibanding tetangga singapur atau malaysia. memang 5 anak menang olimpiade fisika, tp ribuan anak yg lain tinggal kelas. dg standar nilai minimal, anak yg pinter tetap berusaha pinter. yang gak pinter mau gak mau ngejer, dan akibatnya yg ngejer ini bakal jadi anak pinter juga. sehingga makin banyak anak pinter.ini imbasnya panjang, sampe ke tenaga kerja sampe ke kenapa org malaysia gak mau jadi pembantu. tapi bisa-bisa gue bikin posting sendiri jadinya. hehe. 🙂


  30. iya setuju, Mas :). sebaiknya juga yang dipentingin & dibanggain gak hanya pelajaran eksak aja, klo ada murid2nya yg berprestasi di bidang olahraga, kesenian & bahasa perlu diperhitungkan untuk peningkatan mutu sekolah.