Sebuah usulan bodoh untuk dunia pendidikan Indonesia

Published by

on


Beberapa hari yang lalu, gue nguping pembicaraan dua orang di lift tentang pusingnya mendaftarkan anak di sekolah ‘unggulan’. Berdasarkan obrolan kedua orang ini, gue berkesimpulan bahwa peringkat sekolah ditentukan oleh nilai rata-rata lulusannya. Itulah sebabnya sekolah-sekolah unggulan mensyaratkan nilai minimal yang tinggi dari para calon siswanya, tentunya dengan harapan agar mereka juga akan lulus dari sekolah itu dengan nilai yang tinggi sehingga bisa mendongkrak peringkat sekolah. Ini kalo nggak salah lho, namanya juga hasil nguping.

Kalo menurut gue, praktek seperti ini justru mulai melenceng dari esensi fungsi sekolah itu sendiri. Yang namanya sekolah kan tempat belajar,maka logikanya sekolah dinilai bagus atau jelek dari keberhasilannya membuat para muridnya menjadi lebih pinter. Kalo sebuah sekolah dimasuki murid-murid yang nilai rata-ratanya 9, lalu murid-murid tersebut lulus dari sana dengan nilai rata-rata 9, itu sih bukan berarti sekolahnya yang hebat, tapi emang murid-muridnya yang pinter!

Sekarang coba gue tanya kepada kalian semua yang kebetulan punya pengalaman mengajar, baik mengajar di depan kelas, atau sekedar ngajarin adik bikin PR: mana yang lebih sulit dan butuh upaya lebih besar: ngajarin anak yang emang dari sononya udah pinter, atau ngajarin anak lemot yang saat diterangin mulutnya bisa dijadiin pot taneman hias saking lebar nganganya? Pastinya anak-anak lemot butuh upaya dan keahlian yang lebih besar dari gurunya, kan? Lantas kenapa sekolah-sekolah yang cuma menerima murid-murid pinter dapet peringkat lebih bergengsi, sementara upaya yang mereka keluarkan untuk mendidik anak-anak pinter ini jauh lebih sedikit?

Entah kenapa, tiba-tiba gue teringat pada progam sales contest di kantor gue. Sebagaimana umumnya sales contest, kriteria pemenang “Best Sales Performance” adalah kantor cabang yang bisa menjual paling banyak. Tapi selain itu juga ada kriteria “Best Sales Improvement” buat kantor cabang yang peningkatan penjualannya terbesar, walaupun mungkin belum mencapai angka penjualan terbesar. Misalnya gini: kantor cabang A, tahun lalu punya nilai penjualan 85 juta dan tahun ini 100 juta, sedangkan kantor cabang B tahun lalu hanya menjual senilai 20 juta tapi tahun ini berhasil menjual 75 juta. Dengan demikian, kantor cabang A memenangkan penghargaan “Best Sales Performance”, dan kantor cabang B memenangkan penghargaan “Best Sales Improvement”. Tujuan diadakannya kriteria “Best Sales Improvement” ini adalah untuk memotivasi kantor-kantor cabang yang baru buka. Dari segi total nilai penjualan jelas mereka akan kalah dibanding kantor-kantor cabang lain yang udah lebih lamaan bukanya, karena namanya juga kantor cabang baru, customernya juga pasti belum banyak. Kriteria “Best Sales Improvement” memungkinkan mereka untuk berkompetisi secara lebih adil dengan kantor cabang lainnya, baik yang udah lama maupun yang baru buka.

Nah, usul gue, gimana kalo peringkat sekolah juga dihitung dengan cara yang sama, yaitu mempertimbangkan nilai rata-rata kelulusan DAN peningkatan nilai murid-muridnya saat baru masuk dan setelah lulus.Maksudnya, yang menentukan peringkat sebuah sekolah bukan cuma rata-rata nilai para lulusannya tapi juga seberapa banyak murid-murid itu mengalami perbaikan nilai. Dengan demikian SMA A yang menerima siswa dengan nilai rata-rata 7 dan berhasil mencetak lulusan dengan nilai rata-rata 9, seharusnya punya peringkat lebih tinggi daripada SMA B yang menerima murid dengan nilai rata-rata 8,6 dan mencetak lulusan dengan nilai rata-rata 9,2.

Seandainya cara perhitungan peringkat seperti ini diterapkan, maka sekolah-sekolah unggulan nggak akan lagi jor-joran menetapkan nilai minimal setinggi langit, karena kalo mereka cuma menerima murid dengan nilai rata-rata 9,9 mau ditingkatin jadi berapa lagi? Sebaliknya, sekolah-sekolah yang selama ini dinilai ‘under dog’ punya kesempatan unjuk gigi dan membuktikan bahwa mereka sebenarnya telah bekerja lebih keras untuk meningkatkan nilai para siswanya.

Gimana menurut kalian, setuju dengan usulan gue?

40 tanggapan untuk “Sebuah usulan bodoh untuk dunia pendidikan Indonesia”

  1. bundakacamata Avatar

    setujuu…. dengan demikian seluruh sekolah akan punya peluang yang sama untuk maju dan diperhatikan pemerentah.selama ini cuman sekolah unggulan doang yang dapet guru2 yang lumayan kualitasnya trus fasilitas pendidikan juga lebih. Ya terang aja mereka tetep nomor 1!

    Suka

  2. moorcyhans Avatar

    saya juga setuju!!! *komentar tante yg ponakannya ga keterima di negeri*

    Suka

  3. dardiri Avatar

    setuju mas……

    Suka

  4. imansoe Avatar

    coba ngulik2 di om google tentang pendidikan di finlandia, om agungsetau gw disana sudah menerapkan seperti itu, buat mereka rata2 nilai kelulusan ga beda jauh dengan nilai tertinggi & terendah, dan hampir berlaku di semua sekolah.. bukan hanya rata2 1 sekolah sajaitu kenapa kl ga salah finland jd “the best” pendidikannya.. dan guru2nya digaji sangat mahal.di Indonesia calon mahasiswa berbondong2 berebut masuk ke UI ato sejenisnya, di sana mereka berbondong2 masuk universitas pendidikan, sperti UNJ.. 🙂

    Suka

  5. aroemaniezt Avatar

    jangan2 ntar bisa jadi ada praktek “salam tempel” gt pak..apabila ada siswa yg kurang pandai namun orang tuanya cukup mapan sehingga sekolah manapun bisa aja dimasukkinnya..:)Tapi sarannya keren kuq..5 taon lg daftar jd caleg div.pendidikan ajah pak..hehehe..:))

    Suka

  6. elbintang Avatar

    kalu SD seingatku dulu ada mas kategorinyaSD Center = sekolah yang memiliki prestasi di segala bidangSD Percontohan = sekolah yang menerima murid lebih dari 50 % tidak bisa baca tulis tapi dengan hasil kelulusan yang diatas rata-rata. juga dinilai tingkat naik dan turunnya jumlah murid.dan ekhm…bukan usulan bodoh, kok 🙂

    Suka

  7. buceqk Avatar

    hmm…bukan pendidikannya kali ya yang jadi barang dagangannya, tapi sekolahannya…mungkin…

    Suka

  8. muzalifah17 Avatar

    setuju…….

    Suka

  9. mamajos Avatar

    setuju gung, mudah2 postingan ini dibaca ama yang berwenang ya gung

    Suka

  10. imazahra Avatar

    myshant said: dari hasil sharing dengan ibu2 yg anaknya masih SD niy, kalau punya anak pengen dimasukin UGM harus “diprogramnya” dari tingkat SD. karena kesempatan masuk UGM lebih jika anak lulusan SMA 8, dan untuk masuk SMA 8 kesempatan paling bagus jika sebelumnya anak masuk SMP 5, dan untuk masuk SMP 5 harus masuk ke SD A,B, C dst.

    It’s totally horrible!PRIHATIN! Pendidikan sudah menjadi barang dagangan, pendidikan sudah menjadi INDUSTRI!

    Suka

  11. imazahra Avatar

    SETUJUUUUUUUU BANGET! Dan ini yg sudah berjalan di UK… (AFAIK).

    Suka

  12. eddyjp Avatar

    He..he..he.gung, ide sih bagus, tapi siapa yang mo cape cape nerangin pot bunga 10 kali sampe ngerti..he..he..he.

    Suka

  13. agneswollny Avatar

    benar Gung, ngajarin murid lemot lebih berat dibandingkan dengan mengajar murid yg pintar/IQ tinggi, apa lagi kalau murid pintar ini sudah “les pelajaran” diluar sekolah. Gurunya ongkang2 kaki :DCuma, dalam mengajar murid pintar butuh diperhatikan hal lain juga, misal, supaya murid tidak bosan, atau tidak menganggap gurunya bodoh

    Suka

  14. thefool Avatar

    Ini perlu digabung ama usul Indonesia Anonymus, Gung, berdasarkan pengamatan mereka bahwa ada satu perbedaan antara negara yang sistem pendidikannya dianggap berhasil dan tidak. Dan ini berlaku di negara maju. Satu perbedaan ini bukanlah masalah uang. Melainkan gengsi. Di negara-negara yang sistem pendidikannya dianggap “berhasil”, menjadi guru merupakan gengsi. Seleksinya ketat, selain dari penghargaannya pun sepadan. Dengan begitu, para pendidik pun menganggap tugas mereka sebagai peran yang bergengsi. Bukan sekadar menyampaikan kurikulum sebanyak-banyaknya, misalnya.

    Suka

  15. c4rlo Avatar

    sebenernya sih itu murni bisnis utk mengecoh orangtua (intuisi gw)yg dijual oleh skolah unggulan :1. temen2 anak Anda orangnya pintar2, jadi apabila anak anda tidak pintar tetapi anda kaya, dengan masuk skolah ini, (mudah2an) anak anda jadi pintar karena berteman dgn org2 pintar dan income sekolah juga naik dong,secara anda diharuskan membayar mahal.2. kalau anak anda memang dari sononya pintar & mudah masuk skolah unggulan dgn biaya murah, ya itu taktik bisnis juga, karena diharapkan anak anda bisa berteman dengan anak2 yang (kurang) pintar (tetapi orangtuanya kaya) dan menjadikan mereka ikut pintar seperti anak anda

    Suka

  16. blackishblue Avatar

    bedanya pendidikan jaman dulu .. n skarang.dulu … siswa dididik utk sesuatu yang udah ditentukan di depan (mewarisi bisnis kluarga, jd montir bengkel si anu .. dll)klo skarang … (harusnya) mendidik siswa untuk pekerjaan yang ga tau apaan didpan nti. Intinya sih, meningkatkan daya kreativitas dan survival anak di kemudian hari.soal pendidikan Indonesia … sumprit gue dah enegh! .. klo makin kedepan ga da perkembangan … home schooling aja deh. Karena yang bisa bikin anak nti berhasil di depan itu bukan NILAI di sekolah! tapi bagai mana dia bisa mengaplikasikan apa yang dia dapat di sekolah dalam kehidupan sehari-harinya nanti.”Trus gimana bisa dapet kerja klo ga punya ijasah??” Emangnya… kerja harus kerja sama orang? bisa wirausaha kan? .. bisa nggaji diri sendiri kan? .. klo emang punya kemauan dan kemampuan yang DIDIDIK DARI KECIL … knapa nggak? … (*jd curhat … maap yak Mas Agung..

    Suka

  17. hayawi Avatar

    setuju!!!!!dengan sistem yg sekarang bakal membuat:yg pinter makin/tetep pinter yg lemot semakin lemotkarena udah kalah duluan bahkan sebelum mulai belajar di sekolahnya yg baru akan dimasuki.*dgnprejudicedsb*

    Suka

  18. yatidwimuliawati Avatar

    bener mas… pada kasian anak2 sekarang jadi gampang stres mikirin nilainya (nah ortunya jadi stress mikirin nilai anaknya biar bisa masuk sekolah yang bagus). udah belajar mati2an nilainya teteup aja gak masuk rata2.

    Suka

  19. mbot Avatar

    ailtje said: kalau ada sistem seperti itu, apalagi ada reward untuk guru yang bisa mengajarin murid bodo jadi pinter. Pada berebut pastinya.

    ya, sebaiknya kita juga mereward prosesnya, bukan cuma hasil akhirnya. hasil akhir berupa angka merupakan hasil dari berbagai unsur, mulai dari kapasitas mental si anak, stimulasi dari guru, sampe dukungan orangtua.

    Suka

  20. mbot Avatar

    lancangkuning said: yang pintar makin pintar, yang bodoh makin bodoh :p

    iya, itu dia poin yang ingin gue sampaikan di sini, bahwa anak-anak dengan nilai rendah justru seharusnya diprioritaskan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas, krn effort yang harus dikeluarkan untuk mendidik mereka juga lebih besar.

    Suka

Ada komentar?

Previous Post
Next Post

Eksplorasi konten lain dari (new) Mbot's HQ

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca