Nonton film emang untung-untungan. Kadang saat nggak terlalu diniatin, malah nemu yang bagus. Salah satunya adalah film ‘Push’ ini.
Cuma gara-gara udah kadung terdampar di Pejaten Village dan timbul ide iseng untuk nonton tanpa punya film inceran, Push jadi pilihan hanya karena posternya nampak seru. Untungnya ternyata seru beneran.
Tanpa mau memperpanjang durasi film dengan penjelasan visual yang terlalu panjang, Push dibuka dengan narasi tokoh Cassie (Dakota Fanning) yang menceritakan asal-usul ‘kaumnya’. Tokoh Cassie, bersama sejumlah orang lainnya, adalah orang-orang dengan kemampuan supranatural. Ada yang bisa meramal masa depan seperti Cassie sendiri (disebut The Watcher), ada yang bisa menggerakkan benda-benda dengan kekuatan pikiran / telekinesis (The Mover), ada yang bisa mempengaruhi pikiran orang lain seperti Jedi Mind Trick di Star Wars atau ‘gendam’ kalo versi Indonesianya (The Pusher), dan ada 6 jenis lainnya (males nulisnya satu2, nonton aja sendiri atau baca di wikipedia gih sono). Orang-orang ‘super’ ini diburu-buru oleh sebuah badan pemerintah (yang mereka sebut ‘The Division’) untuk dijadikan senjata rahasia militer. Tentunya nggak semua anggota kaum itu rela dijadiin senjata. Ada sebagian yang berusaha melawan untuk meloloskan diri dari tangkapan, dan film ini menceritakan aktivitas kerja mengerjar antara kaum ‘super’ ini dengan para agen pemerintah.
Kerangka cerita tentang sekelompok orang berkekuatan super dan hubungan rumitnya dengan pemerintah memang bukan cerita baru kalo nggak bisa dibilang basi. Yang paling dikenal orang tentunya X-Men, atau yang nggak terlalu ngetop juga ada Misfits of Science, (serial TV) dsb dsb. Toh film Push berhasil mengolah kerangka usang ini menjadi tontonan yang bikin gue duduk anteng dari awal sampe akhir tanpa banyak komentar. Istimewanya lagi, film ini sangat minim efek-efek khusus, jadi jangan harap ada adegan tembak-tembakan sinar merah dari mata atau cakar logam keluar dari tangan. Kalo gue itung-itung, paling cuma ada 2 atau 3 adegan yang membutuhkan set-up aksi yang rumit. Selebihnya film ini cuma mengandalkan proses editing yang super cepat dan yang paling utama dialog yang mudah dipahami penonton.
Dakota Fanning lagi-lagi menunjukkan potensinya untuk jadi bintang cemerlang di masa depan. Terakhir gue nonton dia di War of the Worlds tahun 2005. Waktu itu dia masih nampak bayi banget, tau-tau sekarang udah gede aja. Apalagi dandanannya di film ini, berpotensi bikin oom-oom manapun berubah menjadi pedophile. Chris Evans yang sebelum ini ngetop di dua film Fantastic Four tampil ‘ya gitu deh’, tanpa bermaksud bilang permainannya jelek.
Faktor lain yang buat gue menarik dari film ini adalah pemilihan lokasinya, yaitu di Hong Kong. Lumayan sebagai variasi dari film-film kebanyakan yang kalo nggak di LA ya di New York. Konon karena sulitnya nyari tempat yang cukup lapang di kota yang padat itu, maka beberapa adegan dishoot secara candid, yaitu kameranya diumpetin di beberapa titik tersembunyi dan para aktornya disuruh langsung beraksi di tengah keramaian. Ternyata efeknya malah positif buat filmnya, yaitu efek gambar yang dinamis dan terkesan seperti live report siaran berita di tv.
Akhir kata, hal yang gue rasa perlu ditambah dari film ini adalah adegan special effectnya. Sebuah film yang cuma mengandalkan special effect tanpa cerita yang kuat akan terasa kedodoran, tapi sebaliknya, film action yang special effectnya minim juga terasa kurang sedap.

Tinggalkan Balasan ke swargaloka Batalkan balasan