=”Orang nggak bisa kerja kaya dia itu kok bisa diterima di perusahaan ini sih? Pasti psikotesnya nggak bener nih!”=
Celetukan kaya gini sering gue denger kalo ada orang yang kurang puas dengan prestasi kerja seorang pegawai. Psikotes sebagai proses awal masuknya seseorang, jadi tumpuan kesalahan. Tapi sebenernya kenapa sih psikotes bisa dianggap ‘gagal’ menyeleksi calon pegawai?
Sebelum nyampe situ, gue akan coba jelasin dulu proses apa sih yang terjadi dalam sebuah psikotes?
Prinsip dan cara kerja psikotes
Psikotes, pada dasarnya adalah proses membandingkan bakat yang dimiliki seorang calon pegawai dengan bakat yang jadi persyaratan sebuah jabatan.
Contohnya, tuntutan kerja sebuah jabatan mengharuskan orang yang menduduki jabatan itu untuk sering berinteraksi dengan banyak orang, beramah-tamah, dan ngobrol-ngobrol. Maka dalam psikotes akan diukur bakat seorang calon untuk melakukan kontak interpersonal.
Hasil pengukuran sebuah psikotes biasanya (nggak selalu, tergantung jenis tesnya) dibandingkan dengan sebuah skala. Skala adalah ‘rekaman’ hasil pengukuran kemampuan masyarakat untuk tes yang sama.
Contohnya; seorang calon pegawai berhasil menjawab 6 soal secara betul dari sebuah tes 10 soal. Ternyata skala masyarakat menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat yang mengerjakan tes tersebut hanya mampu menjawab betul sebanyak 4 soal. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kemampuan si calon pegawai berada di atas rata-rata masyarakat.
Tentunya dalam kasus betulannya, penerapan skala nggak sesederhana ini. Skala biasanya dibagi-bagi lagi untuk menentukan ‘kelas’ kemampuan seseorang, apakah ‘sangat tinggi’, ‘tinggi’, ‘di atas rata2’, ‘rata-rata’, ‘di bawah rata-rata’, ‘kurang’, ‘rendah’, atau ‘sangat rendah’.
Faktor-faktor yang bisa bikin psikotes ‘nggak akurat’
User / klien kurang memahami tujuan psikotes
Seperti udah gue jelasin sebelumnya, bahwa psikotes hanyalah mengukur bakat – sedangkan di dunia kerja, yang dituntut adalah kemampuan nyata. Seseorang yang punya bakat tinggi belum tentu memiliki kemampuan nyata yang tinggi, karena perlu proses pelatihan / pengalaman kerja.
Contoh gampangnya begini: orang yang tinggi badannya > 180cm, kakinya panjang, tangannya panjang, bisa lari cepet, bisa lompat tinggi, staminanya oke, bisa dibilang ber-BAKAT untuk jadi pemain basket. Tapi apakah kalo kita cemplungin orang ini ke tengah lapangan dia akan langsung bisa bermain basket? Belum tentu.
Kriteria acuan psikotes kurang sesuai dengan yang sebenarnya dituntut dari pekerjaan
Karena pada dasarnya psikotes adalah proses membandingkan bakat seorang calon dengan bakat yang dibutuhkan sebuah jabatan, maka idealnya proses menyusun psikotes adalah sebagai berikut:
- Psikolog yang mau bikin psikotes mengerti betul tentang jabatan yang akan diisi. Tugasnya apa, pekerjaan hariannya ngapain aja, wewenangnya sampai di mana, dst.
- Setelah paham tentang seluk-beluk jabatan, psikolog menyimpulkan bakat apa saja yang dibutuhkan untuk menduduki jabatan tersebut.
- Berdasarkan daftar bakat yang dibutuhkan oleh jabatan, psikolog menyusun rangkaian tes yang akan dipake.
Nah, yang sering bikin kacau biasanya dua faktor berikut:
- Psikolog menyusun daftar bakat berdasarkan asumsi, tanpa betul-betul mengerti tentang jabatannya. Contohnya: psikolog ditugasi mengisi jabatan ‘Staff Public Relations’, maka yang terlintas di benaknya adalah orang yang ramah tamah, senang ketemu orang, talkative, dsb. Padahal pekerjaan yang diisi memang bener Staff Public Relations, tapi di bagian Media Monitoring yang tugasnya setiap hari ngumpulin kliping koran, membuat naskah press release, dan melakukan analisa data – alias nyaris nggak pernah ketemu orang!
- User / klien memberikan gambaran yang salah tentang jabatan yang akan diisi. Hal kaya gini pernah gue alami sendiri waktu masih di HRD, yaitu user minta dicariin “Sales Support Staff” yang daya analisanya tinggi. Setelah gue selidiki lebih lanjut, ternyata di rincian pekerjaan sales support staff sama sekali nggak ada pekerjaan yang sifatnya analisa – orang kerjanya cuma input data penjualan ke dalam excel. Cuma si bossnya aja yang ingin nampak ‘rada keren’ dengan punya staff yang punya ‘daya analisa tinggi’.
Alat tesnya udah basi
Ini problem klasik dalam dunia per-psikotes-an, yaitu alat tes yang dipake adalah alat buatan jaman jebot yang kunci jawabannya udah bocor sehingga gak valid lagi. Problemnya, untuk memperbarui alat tes butuh biaya yang nggak sedikit, sehingga biro-biro psikotes kecil biasanya terpaksa nekad pake alat test yang tukang bajaj lewat pun apal kuncil jawabannya. Kalo alat tesnya udah nggak valid, ya tentu aja hasil tesnya nggak menggambarkan kondisi sebenarnya dari si calon pegawai.
Skalanya nggak akurat
Skala yang udah gue jelasin di bagian awal idealnya diperbarui secara berkala, karena tingkat kemampuan masyarakat biasanya makin meningkat dari waktu ke waktu. Contohnya, di tahun 1970 diciptakan alat test ‘X’ yang memiliki 10 soal. Alat tes ‘X’ ini diujicobakan ke 1000 responden, dan hasilnya dibuat skala. Berdasarkan uji coba tersebut, diketahui rata-rata responden mampu menjawab 4 soal secara benar. Berdasarkan skala ini, bila seseorang mampu menjawab 6 soal secara benar, boleh dibilang kemampuannya di atas rata-rata masyarakat.
Idealnya, skala test X terus diperbarui dengan diujicobakan ulang ke responden karena bisa aja terjadi, di tahun 1970 rata-rata masyarakat hanya mampu menjawab 4 soal benar, tapi di tahun 2008 rata-rata masyarakat mampu menjawab 6 soal benar.
Artinya, kalo seorang calon pegawai dites di tahun 2008 dan berhasil menjawab 6 soal benar, tapi skala yang dipake adalah skala tahun 1970, maka dia dinyatakan punya kemampuan di atas rata-rata masyarakat – yang mana adalah tidak benar – karena rata-rata masyarakat di tahun 2008 mampu menjawab 6 soal benar!
Secara pribadi, gue sendiri nggak terlalu suka make psikotes. Menurut gue psikotes hanya cocok diterapkan ke calon pegawai fresh graduate, yang belum punya pengalaman kerja. Kalo yang udah banyak pengalaman kerjanya, ngapain capek-capek ngukur bakat, ukur aja kemampuan nyatanya lewat catatan prestasi kerjanya di tempat kerjanya yang terdahulu… ya kan?
gambar gue pinjem dari sini

Tinggalkan Balasan ke anived Batalkan balasan