“Yanti, yayuk, yuli…siapa lagi ya..udah abis tuh”
“Ya ada tutik, ya ada nanik, ya ada imron,ya ada joni, ya ada kamu…ha…ha…ha”
Barusan itu adalah sebuah joke – yang enggak lucu.
Kenapa nggak lucu?
Karena dari awalnya udah ketebak akan gimana akhirnya. Umumnya lelucon yang dinilai lucu adalah yang menyimpan kejutan. Kalo kejutan itu udah ketebak dari awal, leluconnya jadi nggak lucu.
Problem yang sama dialami oleh film “Quickie Express”
Film ini menceritakan pengalaman tiga orang gigolo: Jojo (Tora S), Marley (Aming) dan Piktor (Lukman S). Mereka bergabung di sebuah ‘perusahaan jasa’ gigolo yang menyamar jadi restoran pizza.
Sebelum jadi gigolo, Jojo sempet kerja jadi petugas cleaning service. Di hari pertama kerja Jojo dikasih pengarahan oleh bossnya “ingat ya, kalo ngepel, obat pel-nya cukup satu takaran saja, sebab kalo lebih dari satu maka lantai akan jadi licin.”
Pengarahan itu diulang-ulang oleh si boss, yang lantas meninggalkan Jojo kerja sendiri. Maka adegan selanjutnya adalah…. (pastinya bisa nebak dong).
Tempat kerja Jojo adalah sebuah supermarket yang sedang menggelar program diskon 70%. Calon pembeli udah ngantri di luar toko, nggak sabar ingin borong, tapi pintu toko masih terkunci. Jojo ngepel toko, lantas membuka pintu. Calon pembeli menyerbu masuk. Maka adegan selanjutnya adalah…. (pastinya bisa nebak dong).
Singkat cerita, setelah beralih profesi beberapa kali, akhirnya Jojo terbujuk untuk kerja sebagai gigolo. Tapi… yah begitulah, adegan demi adegan yang sepertinya sih diniatkan untuk mengundang tawa, berlalu tanpa kesan karena udah pada ketebak duluan arahnya. Bahkan kemunculan Roy Tobing* sebagai ‘trainer’ para calon gigolo terjebak dalam lelucon paling basi dalam perfilman Indonesia yaitu: bertingkah kebanci-bancian. Apa dikiranya penonton belum bosen ya, ngetawain banci? Gue sih udah loh. Kita cari obyek ketawaan yang lain aja yuk, wahai para pembuat film Indonesia…
Kondisi jalan cerita yang serba ketebak masih bertahan terus sampai Jojo cs mulai menjalankan profesinya sebagai gigolo. Masing-masing ketemu klien yang aneh-aneh, mengingatkan para film Deuce Bigalow: Male Gigolo. Klien-nya Jojo, misalnya. Wanita cantik bersuara berat. Mereka janjian ketemu di sebuah restoran. Baru ngobrol sebentar, si klien permisi ke kamar mandi. Saat si klien pergi, pelayan mendekati Jojo, berusaha ngasih tau bahwa si wanita tersebut sebenarnya adalah…(pastinya bisa nebak dong).
Karena sebuah insiden di bar, Jojo kenalan dengan cewek bernama Lila (diperankan pendatang baru Sandra Dewi) trus naksir trus pacaran. Di saat yang bersamaan, Jojo punya klien bernama tante Mona (Ira Maya Sopha). Pada suatu hari, Lila mengundang Jojo ke rumahnya untuk dikenalkan dengan orang tuanya. Ternyata orang tua Lila adalah… (pastinya bisa nebak dong).
Marley beli 40 ekor ikan yang kata penjualnya sih ikan Lohan tapi tampangnya sama sekali nggak mirip ikan Lohan. Ternyata ikan-ikan itu sebenarnya adalah…. (pastinya bisa nebak dong). Dan karena nggak tau, Marley mandi di bathtub bareng seekor ikannya dan akhirnya digigit di bagian…(pastinya bisa nebak dong).
Begitulah, joke – joke basi gantian muncul di layar, selang – seling dengan joke ‘dewasa’ (baca: cabul) seputar alat kelamin. Kondisi diperparah ketika menjelang akhir, sekonyong-konyong ceritanya ingin ‘berbobot’ dengan konflik-konflik yang kurang penting dan maksa abis.
Kalo diliat dari riwayat karirnya, sutradara Dimas Djayadiningrat masih belum bisa lepas dari kegemarannya mengutak-atik gambar sehingga terlihat artistik tapi kelupaan ngurus cerita sehingga ngambang – seperti yang dia lakukan pada Tusuk Jelangkung. Mungkin sebaiknya dia fokus aja deh bikin video klip seperti dulu.
Tora dan Aming berakting persis seperti penampilan mereka di Extravaganza. Abis mau gimana lagi, ceritanya aja garing gini. Bahkan Lukman Sardi yang biasanya berakting cemerlang di sini nampak janggal dengan kegagapannya melafalkan huruf ‘p’ dan ‘f/v’ yang terlihat sangat nggak natural banget deh. Sedangkan si pendatang baru Sandra Dewi itu nggak memberikan andil yang berarti terhadap jalan cerita kecuali dalam bentuk tampil mulus berkilauan dan mengucapkan dialog2 yang ‘cewek banget’ dalam suara tikus** yang bikin para penonton pria ingin punya nomer HPnya, seperti “Yah… kita nggak jadi ketemuan ya… sedih deh…”
Untungnya masih ada Ira Maya Sopha yang tampil meyakinkan sebagai tante-tante horny, juga Tio Pakusadewo yang bikin gue pangling dalam wig ajaibnya sebagai Mateo. Kedua orang ini membuat gue ikhlas memberikan dua bintang, setelah nyaris ngasih satu. Oh iyam nilai plus juga buat gambarnya yang artistik dan penggarapan settingnya yang serius banget.
*itu lho… yang duluuuu sempet ngetop dengan senam ‘Body Langugage’-nya
**maksudnya suara halus dengan trebel tinggi – banyak desahannya, gitu deh.

Tinggalkan Balasan ke nggacor Batalkan balasan