[tahun baru, kantor baru] “Pak, Ciawi, Pak?”

Tulisan sebelumnya:
Rabbit and Turtle

Gue dijanjiin sebelumnya akan dianter ke Ciawi naik mobil operasional.Tapi ternyata sepagi itu belum ada seorangpun dari bagian umum yang bisa memberikan kejelasan mobil yang mau nganter gue tepatnya ada di mana, siapa sopirnya, apa nomor mobilnya, etc.

Berhubung masih anak baru, gue masih belum tau alternatifnya harus nanya sama siapa lagi selain ke bagian umum. Akhirnya gue nanya sama Usman, staff bagian fotokopi. Usman berbaik hati nelepon ke carpool, dan kembali dengan kabar “Pak nama supir yang mau nganter bapak adalah si anu, bapak tinggal panggil aja di carcall.”

Maka turunlah gue balik ke lobby, masih dengan 40 biji rabbit dan turtle, plus barang2 gue. Minta carcall sama pak satpam yang menatap penuh tanda tanya ke arah barang2 bawaan gue, terus gue nunggu di pintu depan. Lima menit, sepuluh menit guenunggu, belum ada tanda-tanda mobil operasional lewat.

Udah abis sebatang gudang garam, lewatlah sebuah mobil kijang. Dengan penuh percaya diri gue langsung nyegat tu mobil sambil nunjukin ID card gue persis agen FBI di film.

“Ke Ciawi kita ya Pak?” kata gue waktu si pengendara Kijang buka kaca. Orangnya menatap bingung dan gue langsung sadar, kayaknya salah deh. Ternyata dia tamu gedung, dan dengan tampang sedikit tersinggung disangka sopir dia jalan lagi.

Makanya lain kali jangan sembarangan buka-buka kaca, pak!

Nunggu lagi sampe abis gudang garam ke dua, dan akhirnya gue putus asa. Naik lagi ke lt 18 masih dengan 40 biji boneka rabbit dan turtle. Masih cuma ada Usman doang. Nunggu sampe jam ½ 9 saat orang2 udah pada dateng, baru deh jelas nasib gue akan naik mobil yang mana. Ternyata mobil yang dicadangkan buat ngangkut gue sama sekali bukan disopiri oleh pak anu
yang tadi ditanyain Usman, dan udah keburu dipake divisi lain karena sopirnya putus ada kelamaan nunggu carcall dari gue. Yang mana guenya juga udah bercokol dari pagi, nungguin dia bersama 40 boneka yang lucu menggemaskan ini ke Ciawi. Ironis.

Hampir menjelang makan siang, baru gue nyampe ke Ciawi. Dan kotak-kotak dari Mata roduction belum juga dateng. Baru datengnya setelah makan siang, dan tau nggak… bahan kotaknya nggak sama gitu. Dari 40 kotak yang dia bawa, cuma sekitar 10 biji yang beneran pake karton keras,itupun nggak setebel yang dijanjikan. Sisanya pake karton tipis seperti bungkus martabak atau empek-empek. Dan “stiker yang tinggalditempel” yang kemarin digembar-gemborkan itu ternyata cuma print-out yang ditempel secara asal-asalan, baru dateng aja udah ada yang copot beberapa.

Kesimpulannya,kotak-kotak ini nggak layak untuk diajak bepergian ke luar kota, karena dijamin pasti akan ancur di bagasi pesawat. Cuma 10 biji yang kartonnya rada keras itu aja yang akan dibawa ke Surabaya dan Semarang. Terus sisanya mau dikemanain, masa ditinggal di villa sewaan di Ciawi itu? Tentu tidak mungkin. Jadi? Malam itu gue pulang lagi ke Jakarta, untuk naro kotak-kotak itu di kantor, abis itu pulang lagi ke rumah dengan seluruh
bekal seminggu yang udah gue siapin malam sebelumnya…

[bersambung]