
Dipikir-pikir, fans Indonesia itu kayak kucing liar.
Kalo masih sedikit, lucu. Kadang mukanya memelas bikin kasihan. Tapi kalo udah makin banyak, ngeselin. Ya ngerusak jok motor lah, ngacak-acak tanaman lah, eek sembarangan lah, sering berantem pula. Belum lagi kalo musim kawin. Lolongan parau kayak orang lagi digorok berkumandang siang malam.
Begitulah mungkin perasaan KOVO, federasi bola voli Korea, ngelihat ngamuknya fans Indonesia gara-gara Mega nggak kepilih sebagai Best Opposite Hitter.
Jadi begini ceritanya:
Damai yang Hilang untuk KOVO
Alkisah dulunya KOVO hidup tenang di Korea, bikin liga voli untuk penonton Korea, dengan pemain yang sebagian besar orang Korea juga. Lalu lewat suratan takdir, salah satu tim mereka yaitu Red Sparks ngide ngerekrut Mega, pemain dari Indonesia. Maka kehidupan mereka berubah selamanya.
Gue yakin awalnya mereka pasti senang. Ujug-ujug follower IG dan pelanggan kanal YouTube mereka naik drastis. Walaupun para pengikut baru ini bahasanya ajaib, tapi biarin lah, yang penting rame, mungkin gitu pikir mereka.
Satu musim berlalu dengan aman. Eh, Mega diperpanjang 1 musim lagi. Fans Indonesia terus bertambah. Walaupun tujuan utama mereka adalah Red Sparks, mereka luber juga ke akun klub lain dan KOVO. Red Sparks sebagai ‘tuan rumah’ kelihatan paling serius menjamu fans Indonesia. Mereka pernah bikin konten pelajaran bahasa dan budaya Indonesia, yang dibawakan oleh Mega. Lalu setiap video YouTube mereka dikasih subtitle bahasa Inggris. Bahkan belakangan ada yang bahasa Indonesia. Sedangkan klub-klub lain dan KOVO adem-adem aja, nggak keliatan ada perlakuan khusus untuk fans Indonesia.
Di akhir putaran 1 dan awal putaran 2, Red Sparks sering kalah. Di momen inilah fans Indonesia mulai menunjukkan ‘ciri khas’-nya. Yang kecewa mulai ngata-ngatain tim, pelatih, dan pemain yang dianggap nggak becus. Sebagai pengimbang, ada juga fans yang ngebela. Tentunya dengan ngata-ngatain fans yang tadi ngata-ngatain Red Sparks.
Lalu ada fans yang baru muncul dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dasar. Sementara fans yang merasa ‘anak lama’ ngetawain dan ngata-ngatain fans baru bloon dan FOMO.
Ada juga yang mencoba bijak, menjelaskan segala sesuatu terkait pertandingan voli, tapi sebenernya nggak ngerti-ngerti banget, jadi banyak info yang salah. Tentunya tipe ini juga jadi bulan-bulanan dan bahan ketawaan oleh yang (merasa) lebih tahu.
Terus ada juga yang mengangkat diri jadi coach dadakan. Hobinya nulis komentar panjang lebar berupa arahan strategi biar menang. Lantas muncul kelompok lain yang mengata-ngatai coach online ini.
Yang paling absurd: ada aja komentar di akun Red Sparks yang isinya memuji-muji… Yolla Yuliana, pemain voli lain yang juga dari Indonesia tapi nggak ikutan main di Korea. Ini gue yakin Yolla-nya sendiri juga akan bingung, kenapa namanya ikut keseret-seret.
Semuanya tumpah ruah, tumplek blek, campur aduk di akun-akun Red Sparks. Lantas menjalar seperti kebakaran California ke akun-akun tim dan pemain lawan. Akhirnya rame juga di… akun KOVO.
“Udah Nggak Lucu Nih”
Di titik ini kayaknya KOVO udah mulai capek sama kelakuan fans Indonesia. “Tadinya lucu, lama-lama ganggu,” mungkin gitu pikir admin KOVO. Maka KOVO mengambil langkah paling mudah dan paling waras: matiin kolom komentar, baik di IG maupun di YouTube.
Kejutan di The Best 7
Lalu tibalah akhir musim 2024-2025 di mana KOVO punya tradisi mengumumkan ‘The Best 7’, yaitu 7 pemain terbaik berdasarkan performa selama putaran 1 – 6, nggak termasuk babak semifinal dan final. Tujuh gelar yang tersedia adalah:
- 1 Best Setter
- 1 Best Libero
- 1 Best Opposite Hitter
- 2 Best Outside Hitter
- 2 Best Middle Blocker
Para fans Indonesia tentunya berharap Mega, sang atlet voli kebanggaan bangsa, akan terpilih menjadi Opposite Hitter terbaik. Sejak beberapa hari sebelum pengumuman, udah muncul berbagai posting berisi harapan dan keyakinan bahwa Mega yang akan terpilih.
Di hari pengumuman, fans Indonesia kecele. KOVO memberikan gelar Best Opposite Hitter kepada Gyselle Silva, pemain asal Kuba yang membela klub GS Caltex Kixx.
Gue nggak tau apa aja kriteria untuk menetapkan Opposite Hitter terbaik, tapi sekali lagi perlu diingat bahwa penilaian hanya berdasarkan performa di putaran 1-6. Kalau poin yang diperhitungkan hanya di tahap itu, dan cuma ngitung poin doang tanpa parameter statistik lainnya, Silva emang ada di urutan pertama dengan 1.008 poin. Di bawahnya ada Victoria Danchak, pemain asal Ukraina dari tim IBK Altos dengan 910 poin. Barulah di peringkat ketiga ada Mega dengan 802 poin.
Mega unggul di parameter-parameter statistik seperti persentase tingkat keberhasilan serangan, efisiensi serangan, blocking, dig, dan beberapa parameter lain. Tapi ngelihat Silva yang terpilih, kayaknya memang yang dinilai hanya total poin aja. Berdasarkan poin, jelas Mega kalah 200-an poin dari Silva. Yang jelas, sebagai panitia penyelenggara, ya terserah KOVO mau pake cara perhitungan apa untuk milih Best Opposite Hitter, kan.
Kolom Komentar Terkunci, Masih Ada Tombol Unfollow
Fans Indonesia sakit hati banget jagoannya nggak dimenangin. Butuh pelampiasan. Tapi sayang sekali, kolom komentar KOVO nonaktif. Ibarat pemuda ormas udah janjian mau tawuran di lapangan, taunya lapangannya digembok. Maka jalan tempur yang diambil adalah: gerakan unfollow massal akun KOVO. Follower IG KOVO yang tadinya 125 ribu, brodol sampe tinggal 109 ribu. Di IG, FB dan Tiktok berseliweran konten-konten penuh kepuasan karena telah berhasil membabat follower KOVO dengan narasi seputar ‘rasain’, ‘kasih paham’ atau ‘biar rasa’.
Yang paling ajaib ada netijen komentar di akun An Ye-rim, pemain muda Red Sparks, mengumumkan bahwa orang ini meng-unfollow An Ye-rim karena kecewa Kovo nggak milih Mega. Mungkin kata An Ye-rim dalam hati, “Jaka Sembung bawa golok…”

Maksud gue, sebelum capek-capek ribut di akun orang asing, mbok ya tanyakan dulu sebuah pertanyaan mendasar berikut kepada diri sendiri…
…ini pertanyaan yang mendasaaaar, sekali.
Coba dibaca pelan-pelan dalam hati, ya…
Ini dia pertanyaannya:
EMANGNYA KOVO RUGI APA KALO KEHILANGAN FOLLOWER DARI INDONESIA?
KOVO itu federasi bola voli KOREA. Kepentingannya adalah mengembangkan dunia bola voli DI KOREA.
Apakah KOVO nggak butuh follower?
Oh tentu aja butuh, tapi yang mereka inginkan adalah follower YANG ADA DI KOREA. Kenapa? Karena sumber pemasukan KOVO antara lain dari bagi hasil penjualan tiket pertandingan dan penjualan hak siaran.
Sumber Pemasukan KOVO
Ada 7 tim yang bertanding di 6 putaran, maka total ada 126 pertandingan. Fans Indonesia, tentunya hanya tertarik nonton Red Sparks, yang cuma bertanding 36 kali.
Fans Indonesia yang nonton langsung paling cuma beberapa puluh orang. Kecuali mungkin waktu Mega Day di mana tersedia 200 tiket untuk WNI. Tapi katakanlah WNI yang nonton langsung 100 orang, dikalikan 36 pertandingan, cuma ngelarisin 3.600 tiket. KOVO dapet bagi hasil dari penjualan tiket ini.
Kapasitas stadion masing-masing tim bervariasi antara 4.500-5000 penonton, kecuali stadion AI Peppers yang terbesar dengan kapasitas 8.500 penonton. Biar gampang anggaplah masing-masing stadion kapasitasnya sama yaitu 5.000, maka 126 pertandingan x 5.000 kursi = 630.000 tiket. Pemasukan yang disumbangkan penonton Indonesia kepada KOVO cuma sekitar 5% dari potensi penjualan tiket. Jadi, sekalipun follower KOVO 1 juta, lalu tiba-tiba 990.000-nya unfollow berjamah, tapi semuanya orang Indonesia, ya KOVO santai aja. Yang beneran dateng nonton langsung pertandingan aja cuma 3.600!
Tapi itu kan cuma potensi dari pendapatan tiket, gimana dengan potensi pendapatan dari siaran pertandingan? KOVO pasti rugi dong kalo diboikot, karena orang Indonesia yang nonton siaran Red Sparks bisa ratusan ribu.
Oh iya memang penonton Indonesia banyak. Satu kanal YouTube yang me-relay pertandingan Red Sparks bisa menjaring puluhan ribu penonton. Padahal ada banyak kanal melakukan relay serupa. Dan bukan hanya di YouTube, tapi di FB juga. Belum lagi yang nonton lewat TVRI Sports. Ditambah lagi perorangan yang nonton di HP masing-masing pake VPN.
Bener bahwa penonton siaran Red Sparks dari Indonesia bisa sangat besar. Tapi apakah itu jadi pemasukan buat KOVO? Mari kita cek.
KOVO nggak jualan siaran pertandingan secara eceran. Mereka jual hak siar ke pihak lain. Di Korea, selain dijual ke stasiun TV, juga dijual ke situs Naver.com di mana para pengunjung bisa nonton secara online. Untuk hak siaran di Indonesia, KOVO jual ke TVRI Sports. Nah, setelah hak siaran dibeli oleh Naver/stasiun TV Korea/ TVRI Sports, udah nggak ngaruh lagi berapa orang yang nonton. Jadi apakah siaran Red Sparks di TVRI Sports ditonton 1.000 orang atau 1.000.000 orang, KOVO nggak urus, karena dia udah terima pembayaran di depan.
Apalagi, akibat jadwal penyiaran TVRI Sports yang angin-anginan susah dipegang, lebih banyak penonton Indonesia yang nonton di YouTube/FB. Padahal, yang ini cuma relay dari situs Naver.com. Situs Naver.com sendiri membatasi akses, harusnya hanya bisa ditonton dari wilayah Korea. Artinya, mereka memang nggak berharap dapet penonton dari luar Korea.
Namun dengan teknologi VPN, komputer yang letaknya di Indonesia bisa dibuat seolah-olah berada di Korea, lantas membagikan siaran pertandingan lewat YouTube/FB. Apakah Naver.com diuntungkan dengan bertambahnya jumlah penonton lewat siaran relay ini? Enggak, karena para penonton di Indonesia bukan target market para sponsor. Produk-produk yang ngiklan cuma tersedia di Korea. Dengan demikian, tambahan penonton gelap dari Indonesia nggak bisa ‘dijual’ sebagai tambahan exposure.
Dengan kata lain, jumlah penonton siaran langsung pun lagi-lagi nggak ngaruh buat pemasukan KOVO.
Jadi, apanya yang mau diboikot, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air?
Ibarat Kata…
KOVO itu kayak cewek cantik yang lagi dideketin sama cowok jelek yang kurang sadar diri.
Tiap hari nge-chat, isinya pertanyaan basi ‘Udah makan? Awas sakit loh’. Udah gitu kalo telat dibales muncul P beruntun:
P
P
P
Sekalinya ngirim boneka, bulunya bikin kaligata. Ngirim makanan, bungkusannya udah bikin hilang selera. Suka ngirim video yang katanya lucu, tapi gagal bikin ketawa. Si cewek udah males berat, tapi demi sopan santun dan kekhawatiran disantet, dia cuma diem sambil memperbanyak zikir.
Suatu hari, si cowok baru tau bahwa si cewek punya sifat yang menurutnya kurang layak. Si cowok kecewa lalu berkata, “Ternyata kamu begini orangnya. Mulai sekarang, aku nggak sudi lagi mendekatimu.”
Apakah si cewek akan nangis tersedu-sedu, jambakin rambut sendiri lalu guling-guling di aspal? Tentu tidak. Malah mungkin dia bagi-bagi nasi kotak ke panti asuhan, buat syukuran.
Nah, kurang lebih demikianlah perasaan KOVO dengan adanya gerakan unfollow massal dari fans Indonesia.
Banyak Ditemukan Sehari-Hari
Fenomena boikot KOVO ini menurut gue adalah bentuk makro dari pola pikir yang cukup banyak ditemukan sehari-hari: merasa diri sendiri lebih penting dan lebih dibutuhkan dari sebenarnya.
Bentuknya bisa macem-macem:
- bawahan yang mendadak resign sambil ngebayangin atasannya kelimpungan karena susah cari pengganti dirinya
- anak kuliahan yang mendadak ngilang pas jadwal presentasi untuk ngasih ‘pelajaran’ ke temen-temennya yang selama ini dianggapnya cuma numpang tampang tanpa kontribusi
- mas-mas jamet yang mendadak absen dari tongkrongan karena merasa dialah yang selama ini bikin suasana seru, jadi sekali-sekali dia ingin ‘kasih paham’ temen-temennya, siapa yang paling asik
Bisa jadi mereka benar. Bisa jadi selama ini mereka udah berperan penting, tapi kurang diapresiasi. Tapi bisa juga seperti fans Indonesia buat KOVO: nggak penting dan nggak ngaruh.
Yang jelas, kalau memang ada pesan penting yang ingin disampaikan, ada banyak cara lain yang lebih nyaman dan efektif ketimbang boikot.

Ada komentar?