Sebenernya gue rada sungkan untuk nulis review film yang satu ini. Sebagai seorang blogger, gue merasa ‘kurang ajar’ kalo sampe nulis review negatif tentang sebuah film monumental sebagai film Indonesia pertama yang diangkat dari blog. Tapi dengan berat hati gue harus bilang, dari sudut pandang pribadi gue, film ini jelek. Banget.
Seperti biasa sebelum mereview gue jelaskan dulu seberapa tinggi tingkat ekspektasi gue: gue sadar sepenuhnya bahwa gaya komedi Raditya Dika yang gokil banget di buku bukan hal yang mudah untuk diterjemahkan ke media lain. Nggak usah jauh-jauh sampe ke film; transformasinya dari novel ke komik aja kurang berhasil di mata gue. Cerita natural si kambing jantan yang ceplas-ceplos jail di buku, berubah jadi adegan-adegan lebay yang kusut dan bikin sakit mata di komik.
Dan sekarang dia jadi film. Maka gue berusaha menekan ekspektasi gue dengan mengharapkan sesuatu yang mungkin nggak akan selucu novelnya, tapi mudah-mudahan nggak seancur komiknya.
Film ini terasa ‘salah’ sejak adegan pertamanya, yaitu saat Pong Harjatmo muncul memerankan bapaknya Dika. Kalo baca bukunya, gue berpersepsi bahwa bapaknya Dika adalah seseorang yang kocak, nggak kalah gokil sama anaknya, nyablak, rada koboi dan nyentrik. Dan di otak gue, image tokoh bersifat kocak – gokil – nyablak – koboi – nyentrik dan image PONG HARJATMO itu sama nggak nyambungnya seperti makan nasi uduk pake lauk cokelat Delfi. Masing-masing nggak akan menimbulkan masalah, selama nggak dicampur.
Setelah itu adegan berlanjut dengan narasi Dika mengingatkan penonton pada beberapa ‘signature jokes’-nya seperti ngusap muka pake celana dalem bokap dan proses kelahiran di dokter hewan. Abis itu dilanjut dengan beberapa kilas balik pengalaman Dika kecil naksir cewek. Dan tema cewek beserta segala romantismenya pun bertahan sampe akhir film, dalam porsi yang mengherankan untuk sebuah film yang setau gue niatnya komedi.
Gaya penuturan hiperbolik alias ‘lebay’ yang di buku terasa kocak banget, ternyata jadi nanggung dan canggung di layar lebar. Ambil contoh waktu menceritakan hobi Dika versi ABG yang berkhayal jadi detektif. Digambarkan dia lantas mondar-mandir bawa kaca pembesar dan make topi miring, membongkari tas temen2nya yang cewek di kelas, dan pas kepergok menyerahkan sepucuk surat cinta beramplop pink. Trus ganti adegan. Lho? Trus? So?
Kebiasaan film komedi Indonesia untuk mencoba menyenggol urat lucu penonton dengan adegan-adegan jorok (dalam arti sebenarnya, bukan porno) juga sempet beberapa kali muncul dengan sangat nggak pentingnya di film ini. Contohnya kebiasaan tokoh Edgar, adik Dika yang selalu buang air besar di celana setiap kali diajak rapat keluarga. Atau sebuah adegan nyempil yang menggambarkan Dika ngetik pake laptop sambil nongkrong di WC dihiasi sound-effect suara-suara lubang dubur. Jorok? Ya. Membingungkan? Agak. Lucu? Enggak.
Dewa penyelamat film ini muncul dalam sosok Edric (ngetop lewat serial Extravaganza) yang memerankan tokoh Harianto, temen kuliah Dika. Humor-humor yang dia bawakan dengan tampang lempengnya itu malah terasa sangat menyegarkan di tengah adegan-adegan lebay yang mendominasi film ini. Sayangnya porsi Edric masih kalah jauh dibandingkan dengan tokoh Kebo, pacarnya Dika yang tiap kali ngambek bikin Dika berangkat pulang ke Jakarta seolah-olah dia cuma lagi kuliah di Klaten. Si tokoh Kebo ini terus menerus muncul hingga akhir, dengan segala ngambek, jutek, dan nangisnya yang mengganggu, di saat gue sebagai penonton udah berhenti peduli sama kelanjutan nasibnya sejak awal.
Dan satu hal lagi yang bikin gue rada sakit kepala saat nonton film ini adalah banyaknya pengambilan gambar super close-up dari wajah the kambing jantan himself. Maksud gue, untuk menikmati gambar-gambar super close-up itu lo haruslah seseorang yang bener-bener, super, duper, sangat, dunia-akhirat, ngefans mampus sama Dika. Kalo enggak, lo mungkin butuh banyak udara segar sekeluarnya dari bioskop.
Kabar baiknya, basis fans Dika udah cukup banyak dan cukup kuat. Terbukti dari kursi teater 4 Setiabudi 21 yang gue datengin tadi nyaris terisi penuh, dan sebagian besar penonton kedengeran terkekeh-kekeh geli pada beberapa adegan. Di sini lain, juga ada 4 orang penonton yang cabut pulang sekitar 20 menit sebelum filmnya selesai. Jadi, kalo lo tanya gue apakah film ini bagus, maka jawaban gue: “Mungkin iya, cuma gue aja, plus 4 orang penonton lain, yang gagal nemuin di mana letak bagusnya”.
Foto gue pinjem dari website resminya, kambingjantanthemovie.com

Tinggalkan Balasan ke arhamkendari Batalkan balasan