agi-lagi pengalaman dari tangga darurat*, smoker’s safehaven.
Waktu gue masuk ke area tangga darurat, udah ada satu orang di situ, sebutlah namanya si Eriq**. Si Eriq ini lagi berteleponan dengan seseorang, yang kalo menilik ekspresi maupun kosa kata yang digunakan, nampaknya sih seorang cewek.
Berhubung tangga darurat adalah area umum bagi para perokok, maka gue santai aja lanjut nongkrong di situ dan mulai merokok. Mengenai kemungkinan apakah si Eriq ini akan merasa terganggu privacy-nya saat lagi ngebokisin cewek, itu adalah urusan dia. Lagipula, gue cuma bisa ngerokok di sini, sementara dia kan bisa nelepon dari tempat lain asal mau kreatif dikit. Kesimpulan: kalo dia merasa terganggu, dia yang harus pindah.
Bener aja dugaan gue: Eriq nampak terganggu dengan kehadiran gue. Ngomongnya jadi rada ditahan-tahan sambil sesekali ngelirik gue, yang mana lagi belaga ga tau kalo sedang dilirik dengan cara khusyuk memandangi lantai sambil mengebulkan asap bergulung-gulung. Dia juga nampak gelisah, sementara waktu gue masuk tadi tampangnya sumringah bener.
“Eh udah dulu ya… nggak enak nih ada orang…” kata Eriq kepada lawan bicaranya di telepon. Gue, pada saat yang bersamaan, sedang menyedot rokok dengan wajah lugu.
“Iya… nanti disambung lagi deh ya…” rayu Eriq. Lantas diam, mendengarkan lawan bicaranya.
“Lhooo… ya nggak mungkin dong aku sebut namanya, nanti kan orangnya jadi tau…hehehe… bukan… bukan juga… bukan lagi… bukan… yak, bener! Kok pinter sih? Ya udah ya, nanti disambung lagi. Iya, janji. Udah dong, kamu nih ah, senengannya kok bikin orang deg-degan. Udah ya. Assalamualaikum.” Habis ngomong gitu Eriq menutup teleponnya, terus nyengir ke arah gue dengan tampang setengah sungkan, dan keluar dari area tangga darurat.
Walaupun tadinya sama sekali nggak berniat nguping, akibat “keluguan” Eriq gue malah bisa mendapatkan banyak hal. Mari kita analisis satu per satu.
- “ya nggak mungkin dong aku sebut namanya, nanti kan orangnya jadi tau…“


Jelas yang dimaksud adalah gue, sebagai jawaban atas pertanyaan si lawan bicara “emangnya ada siapa sih?”. Yang tidak disadari oleh Eriq adalah, secara tidak langsung dia telah menginformasikan kepada gue bahwa lawan bicaranya di telepon adalah seseorang yang mengenal gue alias sesama karyawan di kantor! Sebab kalo yang menelepon adalah orang yang berasal dari nun jauh di luar sana, dia akan ngomong “ini, ada temen kantor gue ikutan nongkrong di sini.“ - “bukan… bukan juga… bukan lagi… bukan… yak, bener!“


saat Eriq menjawab begini, kemungkinan besar si lawan bicara lagi nebakin, “Si Dudung ya? Si Yanto ya? Si Rohmat ya? Si Junaedi ya? Si Agung ya?” Lagi-lagi informasi ini semakin mempertajam identitas si lawan bicara, yaitu orang yang tau bahwa gue sering nongkrong di tangga darurat untuk ngerokok. Dengan kata lain, orang yang posisi duduknya nggak jauh dari meja gue! - “…kamu nih ah, senengannya kok bikin orang deg-degan.”


artinya lawan bicara si Eriq adalah seseorang yang seharusnya nggak berteleponan dengan dia. Sebab kalo enggak, dia nggak akan segelisah itu. Pertanyaannya: Kenapa? Apakah orang itu udah punya pacar? Punya suami? - “Assalamualaikum.”


artinya si lawan bicara adalah seorang muslim – semakin memperpendek daftar tersangka.
Tadinya sih gue nggak berniat nguping apalagi mikirin siapa lawan bicara Eriq, tapi gara2 gelagatnya yang begitu mencurigakan gue malah jadi nebak-nebak siapakah orangnya. Nggak butuh psikologi, cukup common sense aja untuk menyimpulkan bahwa barusan Eriq telah bicara pada orang yang memenuhi 4 kriteria ini:
- Cewek
- Teman kantor
- Duduk nggak jauh dari gue
- Muslim
Hmm… “daftar tersangka”-nya nggak banyak nih!
===
Belajar dari pengalaman Eriq di atas, berikut ini tips dari gue bagi yang nggak ingin percakapan teleponnya didengar orang lain (yang mana bila ‘orang lain’ itu adalah gue, dampaknya bisa dijurnalin di MP).
- Jaga ekspresi dan body language, jangan nampak gelisah karena akan membuat orang jadi curiga. Hindari senyum2 mupeng maupun ukuran mata yang mengarah pada kategori sayu-sayu enak. Sebuah hukum alam yang berlaku di mana pun: orang yang sedang curiga selalu lebih awas daripada orang yang lagi santai-santai aja.
- Ingat bahwa orang di sekitar lo hanya bisa mendengar apa yang lo katakan kepada lawan bicara di telepon***, sehingga lo bebas ngomong apapun untuk membentuk kesan yang lebih netral. Gunakan kreativitas elo seluas-luasnya. Contoh:
Elo (dengan intonasi mlenye): “aku selalu merindukanmu sayang, kecantikanmu selalu menghantui mimpi-mimpiku…”
Selingkuhan (dengan intonasi lenje): “akupun demikian adanya sayang, wajahmu selalu terbayang…”
[tiba-tiba muncul seseorang yang dengan ndableknya langsung nyalain korek lantas ngerokok]
Elo (dengan intonasi resmi): “Ok baik pak, soal kenaikan plafon kredit bapak akan saya konfirmasikan dulu dengan atasan saya ya pak!”
Selingkuhan (masih lenje): “Loh, loh, apa-apaan sih? Lagi ada orang ya? Siapa? Si Dudung ya? Si Yanto ya? Si Rohmat ya? Si Junaedi ya? Si Agung ya?”
Elo (bertahan dengan intonasi resmi): “Alternatif terakhir yang saat ini keliatan paling memungkinkan, Pak.”
Selingkuhan (meningkatkan kelenjean): “Kamu aneh tau nggak sih, hihihi, aku jadi geliii… deh dengernya sayang, makin gemesss… hiiii…. Yangggg… kangen….”
Elo (mengakhiri dengan intonasi tegas): “Saya pikir begitu lebih baik, Pak. Ok, nanti saya kontak lagi ya Pak, segera setelah saya menghadap atasan. Selamat siang.” - Persingkat waktu bicara. Semakin lama waktu bicara, semakin sulit untuk mengontrol ekspresi. Abaikan saja rengekan sang selingkuhan yang ‘masih kangen’ sehingga mencoba menahan-nahan saat telepon hendak diakhiri.
- Pertinggi kewaspadaan apabila orang yang berada di sekitar elo punya blog, apalagi di multiply!

*pengalaman di tangga darurat lainnya:
**nggak ada kemiripan apapun sih dengan Menhariq Noor, asal aja comot nama. Hehehe…
***kecuali pada beberapa kondisi tertentu di mana lawan bicara sedang naik bajaj atau berada di tempat ramai lainnya sehingga harus ngomong sambil teriak-teriak sampe suaranya ngember kemana-mana.
foto dari picturequest.com

Tinggalkan Balasan ke heniez Batalkan balasan