Sebagai kroco kantoran yang masih harus beraktivitas di tengah keramaian, gue tergolong orang yang sangat mau banget sekali divaksin. Waktu program vaksinasi nasional diluncurkan, gue udah harap-harap cemas, kapan giliran gue bisa divaksin. Waktu itu yang diprioritaskan adalah para tenaga kesehatan, pedagang pasar dan driver ojol, OK belum rezeki. Trus beralih ke ASN, baiklah gue sabar menanti. Lalu para guru, lalu pekerja kreatif, lalu lansia… hmmm kroco kantoran swasta kapan ya…
Yang bikin makin penasaran, orang-orang di sekitar gue, yang sebenernya di luar kategori prioritas vaksin itu, pada enteng banget kebagian vaksin. Ada yang gara-gara ipar sepupunya nakes jadi bisa ikutan, ada yang nekad masuk rombongan UKM padahal nggak punya bisnis UKM, ada yang duluuuu banget pernah ngajar tapi sekarang udah enggak lagi dan sukses dapet jatah vaksin guru. Tapi ya sudahlah, gue mencoba sabar aja nunggu jalur resmi vaksin dibuka untuk umum.
Angin segar gue dapatkan akhir Mei, denger-denger beberapa lokasi udah menerima vaksinasi untuk umum usia 18 tahun ke atas. Bahkan ada salah satu temen yang mengirimkan info, suaminya sukses vaksinasi di sebuah rumah sakit di Jakarta Timur, padahal umurnya belum 50, bukan ASN, pekerja kreatif, atau guru. Maka tanggal 3 Juni, pagi-pagi gue dan Ida meluncur ke rumah sakit itu dengan harapan bisa ikutan vaksinasi.
Antre? Ah, Siapa Bilang?
Harapan membumbung tinggi saat kami ngelihat area rumah sakit itu sepi dan santai banget, nggak ada tanda-tanda kerumunan atau antrian. Beberapa poster besar mengarahkan kami ke lokasi vaksin, dan… wah, lowong banget, paling cuma ada 1 atau 2 orang lagi antre giliran.
Seorang petugas menghampiri.
“Mas, kami mau ikutan vaksin, bisa ya?” kata Ida.
“Atas nama siapa?” kata petugas itu sambil siap-siap buka selembar kertas berisi daftar nama.
“Kami belum daftar, katanya bisa langsung dateng aja.”
“Boleh lihat KTP-nya?”
Ida menyerahkan KTP.
“Oooh… warga JakSel ya? Di sini vaksinasi umumnya hanya untuk warga JakTim,” kata petugas itu, “Kalau yang JakSel, coba ke RS anu,” katanya sambil menyebutkan sebuah nama rumah sakit besar di Jakarta Selatan, “Di sana bisa vaksinasi untuk umum, asal KTP-nya JakSel.”
Ya sud kami langsung balik kanan dan mumpung udah di jalan, langsung menuju RS yang disebutkan petugas. Belakangan baru kami tau, bahwa suami temen yang beberapa hari lalu berhasil dapet vaksin di RS di Jaktim itu, KTP-nya JakUt! Aneh kan.
Di RS yang disebut petugas tadi, suasananya juga sama: sepi. Bahkan nggak ada yang antre sama sekali.
“Dari mana ini?” tanya petugas.
“Kami dari Tebet, mau vaksinasi di sini, bisa?”
“Oh yang di sini khusus untuk lansia dan keluarga nakes,” kata petugasnya
Ini gimana sih.
Lalu petugasnya bilang, “Kami di sini juga nggak tiap hari bisa vaksinasi, karena 1 kemasan vaksin itu isi 10 dosis, jadi vaksinasi hanya kami lakukan kalau yang antri minimal 10 orang. Kalau sampai sore yang antri kurang dari 10, kami suruh pulang lagi karena kemasan vaksin yang sudah dibuka harus langsung habis dipakai.”
Menunggu Para Lansia Datang ke Tempat Vaksin
Di sini gue mulai gagal paham: logikanya kan stok vaksin itu harus segera didistribusikan ke sebanyak mungkin orang biar segera tercapai herd immunity ya. Golongan tertentu dibuat sebagai prioritas karena dianggap rentan, tapi kalau golongan tersebut nggak dateng di tempat vaksin, trus vaksinnya nganggur aja di kulkas, gitu? Trus kalau target utamanya para lansia, dan mereka kesulitan hadir di lokasi vaksinasi karena nggak ada yang nganter dan gak bisa pergi sendiri, lantas mau sampe kapan mereka nunggu? Hih, gemas.
Sebagai penghibur, petugas di RS yang JakSel ini menyarankan agar kami nanya ke Puskesmas deket rumah. Kami ke Puskesmas, dan jawabannya sama, vaksinasi hanya untuk lansia. Lansianya nggak ada yang datang untuk vaksinasi? Nggak papa, kami tunggu aja sampe kiamat sambil nangkepin laler. Jadi dalam sehari, kami mengalami 3x penolakan untuk vaksin.
Dua hari lalu, di chat group kantor beredar kabar gembira: vaksinasi umum untuk pegawai bank, yaaay!
Tentu aja gue langsung mendaftarkan diri, dapet urutan pertama, dan dapet konfirmasi dari pihak HRD bahwa nama gue udah masuk. Dapet Whatsapp juga dengan instruksi untuk bawa hasil swab antigen terakhir dan fotokopi KTP. Siap!
Hari ini, sesuai instruksi, gue dateng pagi-pagi jam 7 di lokasi vaksinasi, di lapangan Tennis Indoor Senayan. Hasil swab antigen ada, fotokopi KTP juga ada. Gue siapin 3 biji malah, kali-kali kalo dikasih satu kurang.
Di pintu masuk pemeriksaan ada beberapa petugas, dan pertanyaan pertama mereka bikin gue bengong, “Selamat pagi, silakan tunjukkan KTP dan SMS undangan.”
SMS undangan apaan?
Kata petugasnya, “semua peserta vaksin harus menunjukkan SMS undangan dari pihak penyelenggara.”
Kecele Lagi
Gue ubek-ubek folder SMS, sampe folder spam, junk e-mail, sampe folder android system, kagak ada SMS apa pun yang berisi undangan vaksinasi. Lha kemarin cuma disuruh bawa hasil swab antigen sama fotokopi KTP kan. Saya tuker SMS-nya sama fotokopi KTP 2 biji bisa nggak ya Pak? Nggak bisa ya? Gue coba kontak PIC dari HRD kantor, nggak angkat-angkat telepon.
Akhirnya, untuk keempat kalinya gue gagal maning vaksinasi dan balik ke kantor. Pas sampe di kantor baru bisa nyambung sama pihak HRD dan katanya “Proses pengiriman SMS dari pihak penyelenggara memang terkendala, jadi nggak semua peserta terdaftar nerima SMS. Tapi kalau mau, bisa datang LAGI ke lapangan Tennis Indoor Senayan nanti siang jam 14.00″
Trus gue harus ketipu untuk kelima kalinya, gitu? Ogah.
Sekitar jam 9 kurang 1/4, gue menceritakan kronologis kegagalan vaksin gue yang keempat kalinya ini di chat group kantor, waktu salah satu temen ngasih info, “Di mall sebelah kantor KATANYA ada vaksinasi untuk umum lho.”
Status infonya masih KATANYA, sementara info yang dari tangan pertama dulu aja gagal, tapi berhubung deket dan penasaran, gue coba aja samperin mall sebelah kantor.
Petugas di lokasi vaksinasi, lagi-lagi, menyambut gue dengan pertanyaan, “Dari mana Pak?”
Untuk sebuah program vaksinasi umum, ini sebenernya sebuah pertanyaan aneh. Kalau ini vaksinasi umum, harusnya nggak ada bedanya gue dari Tebet atau dari Tanjung Priok, kan? Apakah harus gue jawab “Dari mata turun ke hati?”
Gue sebut nama perusahaan tempat gue mengais recehan.
“Oh silakan Pak!” kata petugas ramah.
Kalau Ketemu Orang Ramah di Jakarta, Segeralah Curiga
Gue langsung curiga. Di Jakarta, kalo ada orang terlalu ramah, lu harus curiga, karena biasanya berujung lu harus bayar sesuatu.
Petugas mengarahkan gue untuk ambil formulir, lalu ke tempat antrian nunggu sambil ngisi formulir. Pas lagi tengah-tengah ngisi formulir, petugas yang ramah tadi dateng. Nah, kan… ada apa lagi nih.
“Maaf Pak, nama bapak adalah bapak X bukan ya?” Bapak X yang dia sebut itu direktur di perusahaan gue.
“Bukan.”
“Oh maaf sekali Pak, jadi tadi saya kira, Bapak adalah Bapak X…”
Nah bener kan, pantesan dia ramah amat.
“Lalu?” tanya gue sedingin es dongdong.
“Jadi begini Pak, saya sudah siapin jatah vaksin ini untuk Bapak X…”
“Intinya ini vaksin untuk umum atau bukan sih?” tanya gue dengan nada mulai kesal, mengantisipasi kegagalan vaksinasi kelima.
Petugasnya nampak ragu-ragu, mungkin ngeri gue tiba-tiba nari hula-hula di lokasi vaksinasi, lantas bilang, “Ya udah Pak, nggak papa, silakan lanjutkan isi formulirnya.”
Fiuh… akhirnya… gue bisa antri dengan tenang, dicek tekanan darah dulu, dan…
Tips
Tips buat kalian sesama pemburu vaksin:
- Kalo ditanya dari mana, jawab “dari tadi gue nungguin kapan disuntiknya”
- Upayakan ada kemiripan nama/wajah dengan anggota dewan direksi
- Hindari lokasi vaksinasi yang “tinggal dateng aja”, lebih baik cari yang pake pendaftaran online dulu (walaupun ini juga nggak menjamin – re: SMS konfirmasi nggak masuk)
- Kalo ditolak, nari hula-hula
Selamat mencoba!
Orang dimana-mana ada yg nolak vaksin, ini malah ditolak sampe 4× 😂
Alhamdulillah aku gampang banget. Sehari sebelum yang indoor Senayan, ditawari teman kantor, langsung datang dan disuntik. Padahal penyintas juga ane wkwkwkw..
Yang jam dua disuruh datang lagi, itu bener. Sayang sampeyan udah terlukaaaaaa hahahaha