rafi, balita anti tikus

Iklan

Usaha untuk membuat Rafi berani tidur sendiri sebenernya udah kami jalankan sejak dia berusia hampir 2 tahun. Ida menjelaskan panjang lebar bahwa dia sekarang udah besar, udah waktunya tidur sendiri dan tidak kelonan lagi dengan Bapak dan Bunda.

Waktu diterangin sih kayaknya ngerti, tapi begitu kami tinggal sendiri, dia buru-buru lari nyusul ke kamar dan menclok di tempat tidur kami. Kadang kami berhasil juga membuat dia tidur sendiri di kamarnya, tapi kalo tengah malem kebangun (dan hampir pasti kebangun) dia akan mengendap-endap masuk ke kamar kami dan nyelip di tengah-tengah.

Pada suatu malam setelah upacara penjelasan yang panjang dan melelahkan, gue bilang sama Ida, “Udah, sekarang kita masuk kamar buruan trus kunci pintu. Kalo dia nggak bisa masuk, mau nggak mau dia akan tidur sendiri di kamarnya kan?”

Di atas kertas sih masuk akal, tapi andaikan jalan pikiran balita segampang itu, para ahli pendidikan anak bisa pada pengangguran.

Saat menemukan pintu kamar Bapak dan Bunda terkunci, bukannya balik ke kamarnya sendiri dia malah pantang menyerah ketok-ketok pintu sambil manggil-manggil dengan nada memelas, “Bunda, tolong bukain bunda, tolong…”
“Biarin, jangan bukain, biar dia belajar mandiri,” kata gue.
“Bunda, bukain bunda, Rafi mau masuk,” desakan terus datang dari balik pintu sementara kami berusaha meneguhkan hati di dalam kamar. Tapi lama-lama ratapannya terdengar semakin memilukan, apalagi ketika akhirnya dia bilang, “Bunda, MAAF Bunda, MAAF… Rafi mau masuk, Bunda…”

Waduh, rupanya terjadi kesalahpahaman, dia pikir dia lagi dihukum sehingga nggak boleh masuk ke kamar kami. Akhirnya Bundanya nggak tega dan membuka pintu, dan sekonyong-konyong masuklah seonggok bocah keriting yang udah mirip makhluk Alien karena berlumuran air mata dan ingus, langsung nemplok ke Bundanya sambil terus-terusan bilang, “Maaf Bunda, maaf…”

Kuatir urusan tidur sendiri malah jadi trauma berkepanjangan, maka untuk sementara proyek tidur sendiri bagi Rafi dihentikan. Cuma makin lama sosoknya yang sekarang udah berbobot 22 kilo di tengah tempat tidur sempit kami semakin merepotkan. Ida selalu mengeluh pegel linu di pagi hari karena posisi tidurnya tergusur-gusur oleh Rafi – belum lagi urusan ‘privasi’ Bapak dan Bunda menjadi bolak-balik ter-‘pending’.

Setelah umurnya mencapai tiga tahun, kami berpikir bahwa sudah saatnya proyek tidur sendiri dilanjutkan. Maka beberapa hari yang lalu, Ida mulai membujuk Rafi, “Rafi, mulai sekarang Rafi tidur sendiri ya, di kamar Rafi… tidak tidur sama Bapak dan Bunda lagi…”
“Nggak mau, Rafi takut. Di kamar Rafi banyak tikus,” jawabnya ngasal.
“Loh kenapa Rafi takut sama tikus? Malah tikusnya yang takut sama Rafi,” kata gue.
“Tikusnya takut sama Rafi? Kenapa?”
“Soalnya Rafi sudah besar dan hebat dan pintar sekali. Jadi kalo ada tikus mau masuk ke kamar Rafi, tikusnya bilang, ‘ah aku nggak jadi masuk ke sana ah, takut, soalnya ada Rafi!'”
“Tikusnya takut sama Rafi?”
“Iya.”
“Rafi nggak takut sama tikus?”
“Enggak. Soalnya Rafi kan hebat, jagoan.”

Entah kenapa, kali ini dia mau menerima penjelasan kami dan tanpa banyak huru-hara mau mencoba tidur sendiri. Besok paginya, dia lapor kepada Bundanya,
“Bunda, di kamar Rafi nggak ada tikus. Semua tikusnya takut sama Rafi, soalnya Rafi hebat!’

Pesan moralnya; semua orang, termasuk bocah berusia 3 tahun, ingin merasa dirinya berguna – sekalipun hanya sebagai sosok pengusir tikus imajiner…

34 comments


  1. Wah… Rafi masih mau diajak kompromi ya… Kalo Naomi susah banget… Kalo nggak mau ya nggak mau… Akhirnya emak bapaknya Naomi terpaksa pisah ranjang deh… Hiks.. Emak nya kelonin yg kecil, bapaknya kelonin Naomi di kamar lain… Nasib… Nasib…

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan