Eksodus

Kantor gue lagi digoyang eksodus besar-besaran.

Divisi gue yang anggotanya cuma ada 18 orang, selama bulan Februari kemarin harus kehilangan 5 orang – termasuk kepala divisinya. Dan ini masih akan terus berlanjut sampe tauk tersisa berapa ekor.

Awalnya, di akhir tahun 2004, bank tempat gue kerja membuka segmen Mass Market, segmen yang memfokuskan diri untuk melayani “unbankable customers”. Mereka adalah para pedagang pasar yang selama ini ditolak melulu kalo mau minjem duit ke bank karena nggak punya jaminan. Dengan hanya bermodalkan 6 kantor cabang di akhir 2004, segmen ini ternyata berkembang pesat hingga sekarang punya lebih dari 700 cabang, hanya dalam tempo kurang dari 4 tahun. Portofolio kreditnya bukan lagi “M” atau “ratusan M”, melainkan udah “T”, setara dengan portofolio kredit sebuah bank menengah di Indonesia. Padahal ini cuma segmen, bagian, dari sebuah bank lain. Nggak heran kalo kemudian para investor dari luar negeri pada berdatangan dan mulai colek-colek para petinggi di tempat gue.

Sekali – dua kali dicolek mungkin orang masih bisa tahan, tapi kalo keseringan kan lama-lama lemes juga. Akhirnya, di pertengahan Februari kemarin, Business Head gue, pimpinannya segmen Mass Market, mengumumkan pengunduran dirinya. Dia pindah ke sebuah bank yang baru dapet suntikan dana super gede dari investor luar negeri.

Kalo cuma dia seorang yang cabut mungkin masih nggak terlalu ngaruh ya, tapi dalam kasus ini, dia ngajak para bawahannya, yaitu para kepala divisi, untuk ikutan gabung ke kantornya yang baru. Para kepala divisi yang diajak, tentunya nggak lupa ngajak para managernya untuk ikut masuk gerbong. Dan para manager, tentunya nggak lupa sama anak buahnya – ikutan diajak juga. Akibatnya: eksodus terparah yang pernah terjadi di depan mata gue.

Divisi gue, contohnya. Anggotanya cuma 18 orang, dan selama bulan Februari kemarin udah kehilangan 5 orang – 4 di antaranya masuk dalam rombongan piknik ke bank tetangga. Berdasarkan arena gosip saat ngerokok bareng di tangga darurat, acara ‘bedol desa’ ini masih akan terus berlangsung. Yang udah santer kedengeran sih akan ada 2 sampe 3 orang lagi yang bakal cabut dalam kurun waktu 2 minggu ke depan.

Kebayang nggak sih, satu orang resign aja bisa bikin repot lainnya karena harus kerja dobel menghandle kerjaan orang yang resign itu. Lah ini sampe nyaris separo divisi pada angkat laptop (karena lebih banyak yang bawa laptop ketimbang bawa koper – jadi istilah ‘angkat koper’ kurang pas diterapkan di sini). Udah gitu, nggak pake acara ngajarin para calon pengganti, atau transfer kerjaan ke orang-orang yang tinggal, minimal ngasih tau kerjaan mereka apa dan gimana cara ngeberesinnya, sebagian besar main cabut mendadak aja kaya lagi kebelet ke jamban.

Tapi kalo cuma urusan kerjaan yang makin numpuk buat gue masih belum seberapa dibandingin sama dampak lain yang lebih parah: hubungan antar anggota tim, baik yang udah, akan, maupun yang enggak ikutan eksodus jadi ikut-ikutan terganggu. Masalahnya, selama ini orang-orang di divisi gue punya hubungan informal yang lumayan deket. Bukan cuma terbatas hubungan kerja, tapi di luar kantor mereka juga akrab dan penuh keterbukaan. Prinsipnya, “boleh ngomong sebelum mikir asal jangan bikin orang mikir denger omongan kita”.

Eh, sekarang tiba-tiba aja jadi pada bungkam, sok misterius, dan akhirnya saling curiga satu dengan lainnya, kuatir temen yang lagi diandalin untuk gotong-royong ngeberesin benang kusut mendadak ikutan ‘nyeberang’. Yang bikin gue sangat terganggu adalah, orang-orang yang mau ikut rombongan mendadak pada tutup mulut, nggak ngaku bahwa mereka mau ikut arus eksodus. Ini sebenernya mau pindah ke bank lain, atau direkrut jadi pengedar narkoba, sih?

Ada satu orang yang pas gue tanya ngakunya mau pindah ke ‘konsultan’, eh belakangan ketahuan ternyata ke sana juga. Lainnya ngaku mau ‘bisnis sendiri’, taunya ikut juga ke sana. Padahal, tiap kali gue ditanya sama orang dari divisi lain, gue selalu menjawab, “…enggak, mereka nggak ikut ke ‘seberang’ kok, yang satu mau ke konsultan, satunya mau bisnis sendiri…” Kebanyakan sih skeptis denger jawaban gue, tapi gue bersikeras, “Mereka nggak ikut, bener deh… mereka sendiri kok yang bilang sama gue…” I feel so damn stupid for trusting their words that much.

Di acara farewell party sama kepala divisi hari Jumat minggu lalu, gue bilang terus terang di tengah forum, “Ada apa sih ini? Kenapa sih orang-orang yang mau ikut ke sana pada bohong semua? Emang diperintah untuk main rahasia, ya? Emangnya kalo kita tau mereka mau pindah ke sana, kenapa?”

Kepala divisi gue jawab, “Bukannya mau main rahasia-rahasiaan, tapi ibarat Agung mau beli rumah, udah sepakat sama pemilik rumah yang baru, tapi belum ada hitam di atas putih, kan nggak enak kalo Agung udah bilang ke orang-orang bahwa Agung adalah pemilik baru rumah tersebut. Siapa tau ada di antara penghuni rumah tersebut yang belum tau bahwa rumahnya udah berpindah tangan, kan mereka bisa jadi resah…”

Dengan kata lain, untuk menjaga stabilitas kondisi di ‘seberang’ harus mengorbankan stabilitas kondisi di tim sendiri? Well, sorry mbak, I think that is the biggest bullshit I’ve ever heard – so big that I can’t imagine the size of the bull. Satu-satunya alasan yang masuk akal bagi gue adalah, karena rombongan itu pindah dengan tujuan ‘mensabotase’ perusahaan gue sekarang.

Trust is a very fragile thing. Sayang banget ngeliat kepercayaan yang udah terjalin di tim gue selama hampir 4 tahun ini mulai retak hanya gara-gara tawaran kerja di tempat lain. Gue sendiri udah memutuskan untuk nggak ikutan eksodus. Kalopun gue resign dari perusahaan ini, nggak sekarang, nggak akan ke sana, dan nggak akan dengan cara yang bikin susah orang.

Sebagai reminder untuk diri gue sendiri, dan saran untuk kalian yang berencana untuk resign dari kantor, berikut beberapa poin yang SEBAIKNYA dilakukan sebelum resign – kalo nggak ingin merusak hubungan dengan orang-orang yang kalian tinggal:

  • Terus terang. Kebanyakan orang yang mau resign memang ‘terpaksa’ merahasiakan rencananya sampe detik terakhir, karena kuatir akan dihalang-halangi atau bahkan kena hukuman kalo sampe punya niatan pindah. Tapi begitu kesepakatan kerja dengan tempat baru ada di tangan, mendingan terus terang sama orang-orang di sekitar. Kasih tau bahwa dalam waktu dekat lo nggak akan ada untuk membantu mereka lagi. Nggak usah sok ngebohong karena cepat atau lambat kebohongan itu akan terbongkar dan sekali lo ketahuan bohong, kredibilitas lo akan dipertanyakan.
  • Jangan ninggalin sampah. Beresin kerjaan lo sebelum resign, sampe tuntas. Kalo ada yang belum bisa dituntasin, ajarin cara ngeberesinnya ke para pengganti lo.
  • Ajukan pengganti. Masalah diterima atau enggak urusan belakang, tapi minimal tunjukkan niatan untuk mencari kandidat dengan kemampuan yang setara sama elo, untuk jadi pengganti lo nanti.

Gue pernah baca sebuah saran di artikel tentang resign, “never burn bridges behind you” – jangan pernah merusak hubungan dengan mantan rekan-rekan sekerja lo, karena lo nggak pernah tau kapan akan membutuhkan mereka lagi.

image gue pinjem dari sini

91 comments


  1. i share your sentiments nih, secara di divisi yang sama.. dan hampir ikutan eksodus juga :). setelah dipikir-pikir, kerjaan di mana2 sama kok, tapi pilihan mau keluar itu aja yang beda2 alasannya tiap orang. gw curhat dikit ya, gw bukan dari bank awalnya, dan begitu gw masuk, gw bingung ditanya,”elu ditarik sm siapa?” kesannya kl di bank itu memang “bawaan seseorang..” hmm.. makanya ini kejadian kan? it’s like, follow the leaders. well, gw menolak jadi follower ! lah..?!?! semoga badai cepat berlalu…


  2. Gue ngerti banget perasaan loe dan temen2 yg lain. Gue yg dah di luar aja ikut prihatin dan gak tahu mesti ngomong apa. Kadang gue sendiri jd sedikit geli dan kesel dgn exit interview yg pernah gue lakukan dengan boss, dengan opininya mengenai loyalitas dan kesempatan disini. Tapi gue juga inget mereka jg orang biasa sama spt gue, punya istri dan anak yg perlu dikasih makan, punya impian yg pengen dikejar. Jadi keselnya jgn lama2, cepet2 kembali ke realitas, semuanya dah gak sama, apa yg ada sekarang yg harus diperjuangin.Spt pepatah cina, ingat kebaikan orang dan lupakan keburukannya. God bless SEMM!!!


  3. windieyorke said: i thought that company was my second family…

    yah, ini pemikiran yang sangat berbahaya memang… pelajaran juga buat pembaca lainnya, jgn pernah berpikir seperti ini.


  4. johnyrusly said: Ini sebenarnya peluang dan kesempatan bagi yang tinggal. Jika mau bekerja keras, niscaya akan segera naik keatas.

    yah mudah2an aja settingnya gitu. kemungkinan lainnya adalah dropping orang2 baru dari luar, dengan alasan orang2 yang ada sekarang ‘belum qualified’.


  5. fadlic said: aku jujur lho mbot…. asli menjunjung integritas. gak ikut ngaku-ngaku pindah ke konsultan ndhase mbah-e…

    iya deh iya… kalopun belakangan ternyata ikut juga gue udah nggak kaget lagi kok 🙂


  6. delkery said: weikkss banyak pisan yg pada resign.. doohh semoga dikasih semangat buat Agung lagi.. * pantes sibuknya double yaa pindahan dan ngurusin kerjaan yg lagi heboh*

    hehehe… terima kasih 🙂


  7. thefool said: Kalau batal, ya termasuk risiko sendiri.

    bahkan resiko ini pun nggak terjadi di kalangan orang2 yang ikutan eksodus, krn udah ada kepastian dari pihak sana. makanya gue nggak habis pikir kenapa harus pada bohong.


  8. ladydhy said: hmm bersyukur sekali punya karyawan loyal kayak Mas Agung, harus naik gaji berkali-kali lipat nih, hehehe…

    bukannya loyal2 amat sih, tapi memang cita2 gue adalah nggak lagi kerja di bank. yang jelas sih nyarinya nggak sekarang2 ini, kesian orang2 lagi pada repot. nunggu situasi stabil lagi deh.


  9. menhariq said: halah.. ga ada hubungannya kaleeedi tempat gw malah pake BATIK.. dari setap sampe menteri.. :p

    ya itu kan di tempat lu riq, di sini sih direktur pada pake dasi. eh emang di sana ada direktur ya?


  10. tianarief said: mirip rekan kerjaku waktu aku kerja di sebuah harian. dia mengundurkan diri. waktu aku tanya, “mau fokus membesarkan usaha toko istrinya.” begitu aku pindah ke sebuah majalah, eee, ketemu dia –yang ternyata langsung pindah dari harian itu.

    lha iya, sama, gue juga mikir gitu. sebentar juga ketahuan, ngapain pake bohong sih?


  11. been there too mas agung. ditinggalkan dengan alasan palsu setumpuk pekerjaan…sakit hatinya karena mereka semua money oriented dan gue bertahan karena i thought that company was my second family…belajar dari pengalaman itu, gue sekarang selalu jaga jarak dengan pekerjaan dan rekan kerja. alhamdulillah hidup lebih tenang…


  12. Pantes ngilang. Kirain masih ngurusin pindahan terus. (Sampe tiga minggu… barang-barangnya sebanyak apa, ya?) Iya, aku setuju, bahwa saat sudah mengajukan pengunduran diri, sebaiknya terus terang saja. Kalau emang belum mengajukan ya belum lah. Karena berarti keputusannya belum final. Tapi kalau keputusan pribadi udah final, lebih baik terus terang. Jika dari pihak perusahaan yang dituju memang belum ada kesepakatan, ya bilang saja belum pasti. Karena malah nggak etis kalau diri udah memutuskan untuk pindah ke perusahaan lain, tapi kalau ternyata nanti rencananya batal, terus tetap di perusahaan lama seakan-akan tidak ada apa-apa, dunia damai sentosa. Kalau batal, ya termasuk risiko sendiri.


  13. mirip rekan kerjaku waktu aku kerja di sebuah harian. dia mengundurkan diri. waktu aku tanya, “mau fokus membesarkan usaha toko istrinya.” begitu aku pindah ke sebuah majalah, eee, ketemu dia –yang ternyata langsung pindah dari harian itu.


  14. ratnaz said: Semangat Mas Agung !! ^_^see the bright side, bisa jadi justru hal ini adalah semacam pembersihan kantor dari orang-orang yang kurang loyal, yang mungkin bisa menghalangi sukses yang lebih gde lagih di perusahaan mas Agung, biasanya semakin sedikit team inti semakin simple, posisi kaya’ bgini pernah aku juga alamin tapi aku langsung rubah strategi n’ tebak?!..lebih fresh, lebih semangat, lebih solid dan yang penting koefisiensi n’ efektifitasnya meningkat sampai 38% he he..so met b’juang aja mas, ciayo !!..^_^

    yah mudah2an dampak ke depannya bisa lebih baik ya? tks semangatnya 🙂


  15. Semangat Mas Agung !! ^_^see the bright side, bisa jadi justru hal ini adalah semacam pembersihan kantor dari orang-orang yang kurang loyal, yang mungkin bisa menghalangi sukses yang lebih gde lagih di perusahaan mas Agung, biasanya semakin sedikit team inti semakin simple, posisi kaya’ bgini pernah aku juga alamin tapi aku langsung rubah strategi n’ tebak?!..lebih fresh, lebih semangat, lebih solid dan yang penting koefisiensi n’ efektifitasnya meningkat sampai 38% he he..so met b’juang aja mas, ciayo !!..^_^


  16. wah.. nggak ada aturan hukumnya yg berlaku nih …. seharusnya kan ada tata aturan yg berlaku dimana kalau orang pada mengundurkan diri secara masal gitu kan namanya sudah menyelahi aturan “instansi”. Perlindungan hukum dari pemerintah juga harus ada karena menyangkut kesejahteraan banyak karyawan …


  17. etika said: setuju banget !. aku pernah resign baik2 dari pekerjaanku awal thn 1999 dan pertengahan thn 2000 aku telpon ke mantan GMku untuk balik kerja lagi, Alhamdulillah beliau setuju dan aku bisa langsung kerja lagi.

    ya ini salah satu contohnya. sebisa mungkin kita harus meminimalkan ‘damage’ saat memutuskan untuk resign, biar nggak berbalik merepotkan diri sendiri di kemudian hari.


  18. imazahra said: Aku copy dulu Mas, bacanya belakangan, maklum nge-net neng cafe jhe :-DSalam buat Ida dan sun buat Rafi ganteng ya Mas, hehehe OOT 😀

    hehehe… waalaikum salam, maap nih kalo kepanjangan, lagi banyak unek2 soalnya. 🙂


  19. nilaalya said: hmmm….. setuju banget. pernah diposisi yang udah megang obor buat ‘burn the bridges’n ya, tapi…dipikir pikir…mending balik, swallow my pride, ajarin pengganti, bye bye sama anak2 dan parents2 dg baik baik, …baru hengkang kalo udah ada plan yang lebih baik.

    ya. sebab saat kita ‘burn the bridges’ seringkali yang jadi korban adalah orang2 yang sebenernya nggak punya salah apa2 ke kita.


  20. mbot said: jangan pernah merusak hubungan dengan mantan rekan-rekan sekerja lo, karena lo nggak pernah tau kapan akan membutuhkan mereka lagi.

    setuju banget !. aku pernah resign baik2 dari pekerjaanku awal thn 1999 dan pertengahan thn 2000 aku telpon ke mantan GMku untuk balik kerja lagi, Alhamdulillah beliau setuju dan aku bisa langsung kerja lagi.


  21. hmmm….. setuju banget. pernah diposisi yang udah megang obor buat ‘burn the bridges’n ya, tapi…dipikir pikir…mending balik, swallow my pride, ajarin pengganti, bye bye sama anak2 dan parents2 dg baik baik, …baru hengkang kalo udah ada plan yang lebih baik.